Minggu, 10 Januari 2016

MAKALAH KELOMPOK 1 (AGAMA HINDU)



Tugas              : Ilmu Perbandingan Agama
Dosen              : I Ketut Pasek Gunawan, M.Pd.H


  AGAMA HINDU


 




DISUSUN OLEH :


KELOMPOK I
1.      I Gede Pasek Surya Fana                 (12.1.1.1.1.156)
2.      Niluh Putu Sutrepti Utami               (12.1.1.1.1.166)
3.      Luh Putu Candra Wati                    (12.1.1.1.1.175)
4.      Ni Kadek Deny Chandewi               (12.1.1.1.1.177)
5.      I Made Widiana                                (12.1.1.1.1.174)
6.      A A, Gd Ngurah Pratama                (12.1.1.1.1.187)





DHARMA ACARYA
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2016









 
KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah dalam mata kuliah”Pserbandingan Agama” yang Berkaitan dengan “Agama Hindu” ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.yang akan digunakan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perbandingan Agama.
Karena keterbatasan kemampuan dan waktu , kami sangat menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk masa yang akan datang. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
“ om, santih, santih, santih, om “

                                                                                                Denpasar, 29 Desember  2015

                                                                                                            Penulis








DAFTAR ISI


COVER                        
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN                                                 
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1         
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................................... 4
1.Apakah Pengertian Sruti........................................................................................... 4
2.Apakah Isi Ctur Veda?.............................................................................................. 4
3.Siapakah Dewa-dewa dalam Catur Veda?................................................`............... 4
4. Bagaimanakah cara mempelajari Veda yang gampang dan tepat?........................... 4
5. Bagaimanakah Tempat suci,Hari suci dan Orang suci............................................. 4
6. Bagaimanakah lembaga yang mengayomi Agama Hindu....................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1.  Sejarah Agama Hindu................................................................................................ 5
        2.2.1 Kerajaan Hindu di Indonesia............................................................................ 5
2.2   Pengertian Sruti......................................................................................................... 6
2.3.  Isi Catur Veda............................................................................................................ 7
        2.3.1 Reg Veda........................................................................................................... 7
        2.3.2 Yajur Veda........................................................................................................ 8
        2.3.3 Sama Veda........................................................................................................ 8
        2.3.4 Atharva Veda.................................................................................................... 8
2 4.  Dewa-dewa dalam Veda........................................................................................... 11
2.5.  Cara mempelajari Veda yang gampang dan tepat.................................................... 16
2.6.  Tempat suci,Hari suci,dan Orang suci Agama Hindu.............................................. 17
       2.6.1 Tempat Suci Agama Hindu.............................................................................. 17
       2.6.2 Hari Suci Agama Hindu................................................................................... 29
       2.6.3. Orang Suci Agama Hindu............................................................................... 34
2.7  Lembaga yang mengayomi Agama Hindu................................................................36
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap Dalam mempelajari Weda, mungkin pertanyaan inilah yang pertama-tama timbul dalam pikiran “Apakah itu Veda?”. Satu-satunya pemikiran yang secara tradisional  yang kita miliki adalah yang mengatakan bahwa Weda adalah kitab suci agama Hindu. Apabila yang kita maksudkan kitab suci maka Weda adalah merupakan buku atau kitab, kita tidak membicarakan isinya, kita hanya melihat wujudnya. Buku itu berisikan tulisan-tulisan, disusun rapi, ada penulisnya, ada pemikirannya dan ada pula isinya berupa ajaran-ajaran. Buku adalah benda atau barang cetakan. Tetapi tidak semua barang cetakan atau buku dapat kita namakan Weda.
Sebagai kitab suci agama Hindu artinya bahwa buku itu diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dan dinyatakan sebagai kitab suci karena sifat isinya dan merupakan wahyu Tuhan yang dianggap Maha Suci. Apapun yang diturunkan sebagai ajaran oleh Tuhan kepada umat manusia semuanya itu merupakan ajaran suci. Lebih-lebih isinya memberi bimbingan tentang bagaimana hidup suci. Kata Veda bearasal dari urat kata kerja ‘Vid’ yang artinya mengetahui dan veda berarti pengetahuan,dalam pengertian simantik veda berarti pengetahuan suci,kebenaran sejati,pengetahuan tentang ritual,kebijaksanaan yang tertinggi,pengetahuan spiritual sejati tentang kebenaran abadi,ajaran suci atau kitab suci sumber ajarran agama hindu. (Titib,2011:17) Kitab suci Weda diterima langsung oleh Para Maharsi yang dikenal dengan sebutan Sapta Rsi. Ketujuh Maharsi  itu ialah maharsi Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri,Bhradwaja,Wasistha,dan Maharsi Kanwa. Veda terdiri dari kitab Sruti dan Smerti berikut beberapa pembagian kitab suci Veda :
1.      Sruti (kitab yang merupakan wahyu Tuhan yang Maha Esa yang diterima oleh para Maharsi)
2.      Reg Veda (isinya berupa kumpulan mantra-mantra)
3.      Sama Veda (Isinya kumpulan mantra-mantra yang memuat umum nyanyian Lagu-lagu pujaan yang dinyanyikan pada waktu pelaksanaan upacara)
4.      Yajur Veda (Isinya kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran umum mengenai pokok-pokok yadnya , pokok ajaranya ada dua macam Yajur veda hitam dan Yajur veda putih)
·         Yajur Veda hitam (Krşņa YajurVeda) yang terdiri atas beberapa resensi a.l. Taiyiriya samhita dan Maitrayanisamhita.
·         Yajur Veda putih (Śukla yajurVeda). yang juga disebut Wajasaneji samhita.
5.      Atharwa Veda Isi kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis (atharwan).
6.      Smerti (kelompok Veda yang disusun kembali berdasarkan ingatan)
7.      Wedangga (kitab  yang  berisi  petunjuk-petunjuk  tertentu  untuk  mendalami  Veda.)
8.      Shiksa (Ilmu Phonetika)
·         Vyakarna (ilmu tata bahasa)
·         Nirukta (Yakni  ilmu  yang  menjelaskan  tentang  etimologi  kata-kata)
·         Chanda (cabang Veda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu)
·         Jyotisha (ilmu astrologi)
·         Kalpa (Kitab mempelajari tentang Upacara Agama)
9.      Upaveda
·         Ayurveda (adalah kitab-kitab yang menurut materi isinya menyangkut bidang ilmu kedokteran)
·         Dhanur Veda (seni bela diri dan persenjataan)
·         Gandharva Veda (seni music,sajak,dan tari)
·         Arthaveda (ilmu tentang politik atau ilmu tentang pemerintihan)
10.  Purana (Jenis ini merupakan kumpulan ceritera-ceritera kuno yang isinya memuat tradisi tampat setempat)
·         Mahapurana ( oleh  Maharsi  Vyasa ) Mahapurana  berjumlah  18  buah,  antara  lain : Visnu.  Narada,  Bhagavata,  Garuda,  Padma,  Varaha,  Brahmanda,  Brahmavaivarta,  Markandeya,  Bhavisya,  Varuna,  Brahma,  Matsya,  Kurma,  Lingga,  Siva,  Agni,  Skanda.
·         Upapurana Upapurana  juga  berjumlah  18,  antara  lain :  Sanatkumara,  Narasimha,  Brhannaradiya,  Siva,  Durvasa,  Kapila,  Manava,  Varuna,  Kalika,  Mahesvara,  Samba,  Saura,  Parasara,  Devi  Bhagavata,  Aditya,  Vasistha,  Visnu  Darmottara,  Ausanasa.
11.  Itihasa (epos yang terdiri atas dua macam yaitu ramayana dan Mahabharata)
12.  Nibandha (memuat  banyak  aturan  yang  mencakup  sistem  atau  cara  pemujaan  terhadap  Tuhan)
13.  Sarasamuscaya (kitab suci sebagai tuntunan bagi mereka yg sudah melewati grehasta asrama)
14.  Bhasya (Berisi  tentang  komentar  terhadap  buku  Yogasutra ( Patanjali ).  Buku  ini  ditulis  oleh  Bhojaraja.)
15.  Uttaramimamsa (Kitab-kitab  ini  membahas Aranyaka dan  Upanisad)
16.  Shrauta Sutra (membahas tentang berbagai cara pemujaan, pemeliharaan atau melakukan penghormatan kepada Triagni, yaitu Daksiagni, Ahawaniyagni, dan Grhapatyagni)
17.  Shulwa Sutra (memuat tentang peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan (Pura, Candi), bangunan-bangunan lain)
18.  Dharma Sutra (memuat tentang aturan dasar yang mencakup bidang hokum, agama, kebiasaan atau Acara dan Sistacara, dan sebagainya)
19.  Sthapatya Veda ( ilmu arsitektur,seni pahat,ilmu geomansi)
20.  Upanishad (himpunan mantra-mantra yang membabas berbagai aspek teori mengenai ke-Tuhan-an)
21.  Aranyaka (Kitab suci yang menguraikan falsafah agama hindu serta sifat-sifat Tuhan)
22.  Brahmana (kitab yang berisi himpunan doa-doa yang dipergunakan upacara yajna)

Beberapa jenis Lontar-lontar :

Lontar-lontar Tattwa ,
Lontar-lontar ini memuat ajaran Ketuhanan, disamping itu juga memuat ajaran tentang penciptaan alam semesta, ajaran pelepasan (moksa) dan sebagainya.sebagian besar lontar-lontar tattwa ini bersifat siwaistik (sivaisme) dan beberapa diantaranya telah dikaji secara kritis oleh beberapa sarjana.Lontar-lontar jenis ini antara lain :
a.      Bhuwana kosa
b.      Ganapati tattwa
c.      Jnana sidhanta
d.      Bhuana Sangksepa
e.      Sanghyang Mahajnana
f.      Tattwa Jnana
g.     Wrhaspati tattwa



Lontar-lontar ethika
Lontar-lontar jenis ini berisi ajaran tentang ethika,kebijakan tuntunan untuk menjadi orang sadhu yaitu orang arif dan bjaksana,berbudi luhur,berpribadi mulia dan berhati suci. Yang termasuk Lontar ini antara lain:
a.      Sarassamuscaya
b.      Slokantara

1.2. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Sejarah Agama Hindu ?
2.      Apakah Pengertian Sruti?
3.      Apakah isi catur Veda ?
4.      Siapakah Dewa-Dewa dalam Catur Veda?
5.      Bagaimana cara belajar Veda yang gampang dan tepat?
6.      Bagaimanakah Tempat suci,Hari suci dan Orang suci Agama Hindu ?
7.      Bagaimanakah Lembaga yang mengayomi Agama Hindu ?

1.3. Tujuan
1.      Untuk mengetahuia Sejarah Agama Hindu
2.      Untuk mengetahui pengertian Sruti.
3.      Untuk mengetahui isi dari catur Veda tersebut.
4.      Untuk mengetahui Dewa-Dewa dalam Catur Veda.
5.      Untuk mengetahui cara belajar Veda yang gampang dan tepat.
6.      Untuk mengetahui Tempat suci,Hari Suci dan Oang Suci Agama Hindu.
7.      Untuk mengetahui Lembaga unag mengayomi Agama Hindu.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Agama Hindu
            Agama Hindu yang kita kenal sekarang,lahir dan berkembang pertama kali di india, yaitu di daerah Punjab (di lembah sungai sindhu) dan dalam perkembanganya sampai kedaerah lembah sungai gangga dan yamuna. Nama Hindu berasal dari kata Sindhu yaitu nama sungai di India barat daya datanglah bangsa Arya dari daratan Eropa timur Laut ke India. Bangsa ini termasuk dalam ras bangsa Indo Germania. Bangsa Arya adalah pengembara yang masuk ke India melalui celah Kaiber dan Kaiber pass. Bangsa Arya masuk dan menetap di lembah sungai sindhu yang alamnya subur kedatangan bangsa arya mendesak bangsa dravida yang lebih dulu berada di tempat itu, yang pada perkembanganya selanjutnya mereka berbaur dan menurunkan bangsa india yang sekarang, teori masuknya agama hindu dari india ke Indonesia yang dianggap paling realistis adalah gabungan antara teori Brahmana,teori Dagang dan teori Ksatria, dimana ketika para Brahmana  berlayar dari India menuju Indonesia mengajak brahmana untuk memimpin upacara keagamaan untuk memohon keselamatan baik di perjalanan maupun di tempat tujuan . sedangkan tugas para ksatrya adalah untuk mengawal kapal-kapal dari para perampok.

   2.1.1 Kerjaan Hindu di Indonesia
1. Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur
Kerajaan Kutai terletak di Kalimantan Timur di hulu sungai Mahakam. Sekitar abad ke 4 Masehi Kutai di perintah oleh seorang raja bernama Aswawarman yang merupakan Putra dari Kudungga. Nama kerajaan tersebut di sesuaikan dengan daerah tempat di temukan Prasasti yaitu Kutai. Di kutai di temukan 7 buah Prasasti yang berbentuk Yupa.
2.      Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat
Agama Hindu sudah berkembang di pulau Jawa diperkirakan pada abad ke-5.
Hal ini dibuktikan oleh 7 buah prasasti, lima diantaranya ditemukan di daerah Bogor,seperti Prasasti Ciaruteun, Kebon kopi, Jambu, Pasir Awi dan Muara Ciaten.Satu Prasasti di temukan di Desa Tugu, Tanjung Priok. Satu lagi di temukan di desa Lebak, Banten Selatan. Prasasti-prasasti tersebut memakai Huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Dari keterangan yang terdapat dalam Prasasti tersebut, Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara yang beragama Hindu. Hal ini di buktikan oleh Prasasti Ciaruteun dekat Bogor yang menyebutkan Purnawarman adalah Raja Gagah berani dan lukisan tapak kakinya di samakan dengan lukisan tapak kaki Dewa Wisnu .
3.      Kerajaan Holing di Jawa Tengah
Sekitar abad ke-6 di Jawa Tengah di temukan Kerajaan Holing dengan Rajanya
seorang wanita yang bernama Ratu Sima sangat adil dan bijaksana. Untuk membuktikan bahwa di jawa tengah pada abad ke-6 telah ada kerajaan Holing dengan di temukannya Prasasti Tukmas. Dalam Prasasti itu di temukan symbol-simbol Agama Hindu seperti Tri Sula, Kendi, Cakra, dan Bunga teratai.
4.      Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah
Kerajaan Mataram Kuno di perintah oleh keluarga Syailendra dan keluarga Sanjaya. Adapun Rajanya yang terkenal adalah Sanjaya. Hal ini terbukti dengan ditemukannya Prasasti Canggal ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Prasasti ini berangka tahun 732 Masehi dengan menyebutkan nama Raja yang memerintah adalah Sanjaya. Sebelum Raja Sanjaya memerintah adalah Raja Sanna. Jadi Raja Sanjaya adalah kemenakan dari Raja Sanna. Setelah Sanjaya memerintah diganti oleh penggantinya dan yang terkenal adalah Rakai.
5.      Kerajaan Hindu di Bali
Perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur berpindah ke Bali dengan di temukannya Prasasti Blanjong di sanur dengan Candra Sangkala Khesarawahni-Murti (Murti artinya Bhatara Siwa, Wahni artinya Api dan Khesara artinya Planet). Kesaksian lain adalah lontar di bali yang menyatakan Empu Kurturan sebagai Pembaharu Agama Hindu di bali pada abad ke-11 pada masa pemerintahan Udayana dan penerusnya. Sekte-sekte dapat disatukan, pemujaan melalui Sad Khayangan dan Khayangan Jagat, Khayangan Tiga, Sanggah Kemulan seperti apa yang termuat dalam lontar Usana Dewa , Konsepsi pemujaan kepada dewa Tri Murti , dan memasyarakatkan desa Pakraman melalui Khayangan Tiga. Sebagai Penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih menjangan salwang di kebanyakan pura di Bali. Tempat moksa beliau didirikanlah pura Silayukti di Padangbai (Karangasem).

2.2. Pengertian Sruti
Kitab Sruti berasal dari akar kata “srut” yang artinya mendengar. Kitab Sruti menunjukkan bahwa isi kitab itu merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan dan diterima secara langsung oleh para Maharsi melalui pendengarannya. Seorang Maharsi disebut Mantradrasta yang artinya karena kesucian diri pribadinya mampu merekan sabda Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Apauruseya, atau Tuhan Yang Maha Esa yang bukan berwujud manusia dan di dalam susastra berbahasa di Jawa kuno. Kita sering menemukan istilah Sang Hyang Sruti yang maksudnya tidak lain adalah untuk memuliakan kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. (Titib. 2011: 40)
Manu didalam kitab Manawadharmasastra mengemukakan bahwa Sruti itu, sesungguhnya tidak lain adalah Veda. Menurut arti kata Sruti itu sendiri, kata itu berarti Wahyu atau Revelation. Jadi yang dimaksud dengan Sruti adalah kitab Wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Apabila yang dimaksud Sruti itu adalah Veda, maka pada umumnya pengertian Veda itu dibatasi pada pengertian Catur Veda yaitu empat macam Veda yang masing-masingnya dikenal dengan nama Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan Atharwa Veda. (Pudja. 1985: 39).

2.3  Isi Catur Veda
2.3.1        Rg Veda
Rg Veda adalah kitab suci Hindu yang tertua dan terbesar bila dibandingkan dengan kitab suci Veda yang lain. Kitab suci ini adalah buku penuntun yang terbesar dan sangat ditaati oleh umat Hindu, setiap umat tidak akan melupakan kebesaran dan keutamaan yang terkandung dalam kitab suci ini. Bahasa dan irama sungguh sangat indah dan penuh misteri. Rg Veda adalah mantra sebagai perwujudan eksistensi kebenaran yang abadi dan kitab suci adalah yang terbesar dan sangat berharga dibandingkan dengan susastra umat manusia di jagat raya ini. Pandita yang merapalkan mantra-mantra Rg Veda disebut Hotr.
            Para rsi yang menerima wahyu Rg Veda adalah rsi agung yang memiliki kemampuan untuk menangkap atau melihat yang gaib. Mereka adalah pendiri-pendiri peradaban dan kebudayaan Hindu. Mantra-mantra yang diterima merupakan syair-syair keagamaan yang sangat indah. Kepahlawanan dan berpikir positif  merupakan kunsi pembuka untuk memahami ajaran Veda
            Di dalam kitab suci Rg Veda kita melihat perkembangan pemikiran untuk mereka yang berpikiran sederhana menuju pemahaman monotheisme, devata yang abstrak, pemujaan kepada dewa-dewa tanpa penyebutan nama-nama menunjukkan bahwa kitab suci ini juga mengandung tedensi filosofis. Sebuah catatan perlu diungkapkan adalah penekanan yang sangat terkenal pada kebenaran, bahwa bahwa kebenaran itu Esa adanya dan tentang Kebenaran ini, orang-orang bijak menyebut dengan nama-nama yang berbeda-beda yang secara gamblang ditegaskan dan ditegaskan kembali dalam kitab-kitab Upanisad. Kitab Upanisad disusun dalam jangka waktu yang panjang, upanisad yang tertua diantaranya Brhadaranyaka Upanisad dan Chandogya Upanisad, diperkirakan disusun pada abad ke delapan sebelum masehi. Merujuk pada Ashtadhyayi yang disusun oleh Maharsi Panini. Jumblah kitab-kitab Upanisad secara tradisional diungkapkan didalam Muktika Upanisad adalah 108 buah buku. Dari semua itu terbagi lagi menurut kelompok weda yaitu: 10 buah untuk Rg Veda; 16 buah untuk Sama Veda; 32 buah dan 19 buah untuk kelompok Yajur Veda Hitam dan Yajur Veda Putih, sedangkan untuk kelompok Atharvaveda berjumblah 31 buah buku. Diantara upanisad-upanisad itu ada 12 buah yang terpenting yaitu: Isa, Kena, Katha, Aitereya, Taitiriya, Chandogya, Brhadaranyaka, Kausitaki, Prasna, Mundaka, Mandukya, dan Swetaswatara Upanisad.
Sukta-sukta Rg Veda juga menekankan berbagai cara yang sangat kaya untuk meningkatkan rasa bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, bagaimana seorang Bhakta atau penyembah mendekatkan dirinya melalui devata yang diekspresikan oleh para Maharsi sedemikian indah. Mungkin terindah dibandingkan dengan lagu-lagu pujaan sesudah kitab suci Veda. Para rsi Rg Veda mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak saja diyakini sebagai sahabat yang akrab, tetapi juag sebagai seorang anak kepada bapaknya, seorang pelayan kepada majikannya bahkan sebagai kekasih terhadap yang dikasihinya.
            Terdapat 1.208 sukta di dalam Rg Veda dengan jumlah mantra sebanyak 10.589 yang disusun dalam dua susunan atau klasifikasi. Pembagian itu adalah pembagian berdasarkan Khanda (porsi) yang lebih populer dengan istilah astaka atau pembagian mantram atas dasar delapan buah mantram yang kemudian dibagi lagi menjadi delapan adhyaya. Pembagian lainnya yang lebih populer adalah seluruh Rg Veda dibagi menjadi 10 mandala atau buku (lingkaran) dan kemudian dibagi lagi menjadi anuvaka (sub bagian).
            Pembagian selanjutnya adalah pembagian berdasarkan sukta atau himne yang dibagi lagi ke dalam varga (yang seluruhnya terdiri dari 2.424 varga atau paragrap) yang jumlahnya setiap varga sekitar 5 mantram atau bait (syair). Pembagian atas dasar varga ini adalah umum untuk dua klasifikasi besar diatas. Terdapat variasi yang sangat luas dari jumlah mantram dalam setiap Sukta atau himne, sebagai contoh adalah Mandala I Sukta 99 yang hanya terdiri dari satu mantram (yang diringkas sebagai berikut: I.99.1). Sukta 97, Mandala IX merupakan yang terpanjang (terdiri dari 58 mantram). Dissul sukta 164 dari Mandala I (terdiri dari 52 mantram).  Sukta 16 Mandala VI terdiri dari 48 mantram (demikian pula Mandala VII, Sukta 6 jumlahnya sama 48 mantram) dan Mandala X, Sukta 95 terdiri dari 47 mantram .
            Secara tradisional disebutkan terdapat beberapa resensi tentang Rg Veda namun yang kita warisi kini hanya satu resensi yakni resensi Sakala dan inilah kiranya yang paling lengkap dan bila kita membicarakan Rg Veda yang dimaksud adalah Rg Veda resensi Sakala ini, tidak ada yang lain. Di samping itu terdapat juga resensi lainnya yang disebut Balakhilya (terdiri dari 11 Sukta, biasanya disisipkan pada Mandala ke VIII dari resensi Sakala. Di samping itu terdapat juga resensi Baskala yang terdiri dari 36 Sukta pada Rg Veda edisi Aundh yang disebut juga Khilasukta yang dipandang Sukta semu atau tidak asli yang disisipkan pada resensi Sakala. Demikian antara lain penjelasan tentang Rg Veda. 
(Titib. 2011: 91)

2.3.2        Yajur Veda
Yajur Veda pada umumnya berbentuk prosa dan dirapalkan oleh Adhvaryu, pandita yang akhli atau membidangi Yajurveda yang akan menjelaskan sebuah upacara korban dengan mengambil mantram-mantram Rgveda. Kata Yajus berasal dari akar kata “yaj” yang artinya pemujaan atau pengorbanan. Kata Yajna berasal dari akar kata ini. Seperti halnya kata Rg (Rk) yang berarti ‘lagu pemujaan’, demikiannlah kata yajus berkaitan dengan upacara ritual atau prosedur dalam pelaksanaan Yajna. Pernyataan ini sesungguhnya sesuai dengan maksud dari mantram Yajur Veda ini yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara pemujaan atau yajna. Yajurveda juga merujuk kepada mantra-mantra Rgveda.
Dapat pula ditambahkan bahwa Yajurveda menekankan detail prosedur yajna yang berbeda-beda.Seluruh mantra Yajurveda terdiri dari 1975 mantram yang terbesar ke dalam 40 bab yang disebut Adhyaya. Adhyaya yang terbesar adalah adhyaya XII yang terdiri dari 117 mantram, diikuti oleh adhyaya XVII (99 manram), XXIV (98 mantram), XXXIII (97 mantram), XIX (95 mantram), XX (90 mantram), XI (83 mantram), yang terpendek adalah adhyaya XXXIX terdiri dari 13 mantram diikuti oleh adhyaya XXXII (16 mantram) dan XL yang terdiri dari 17 mantram.Yajurveda juga dikenal dengan nama Vajasaneyi Madhyandina Sukla Yajurveda atau Yajurveda Putih sedang yang lain disebut Krsna Yajurveda yang karakternya dan lebih dekat dengan Kitab Brahmana dibandingkan dengan Sruti Samhita. Terdapat berbagai macam resensi tentang Sukla Yajurveda, antara lain: Kathaka, Kapisthala, Katha, dan Maitrayani menunjukkan kepopuleran Yajurveda ini di India dengan sebuah variasi teks yang berbeda dan penggunaannya dalam upacara-upacara agama. (Titib. 2011: 93)

2.3.3. Sama Veda
Berkenaan dengan kata samaveda perlu diingat selalu kata ini berasal dari saman yang artinya ‘melodi’ (irama) dan samaveda tidak lain adalah himpunan mantra-mantra yang diberi tanda nada untuk berbagi irama.dalam teks tertentu meliputi aturan tentang bagaimana memainkan seni music. Samaveda disebut juga nyanyian weda suci memiliki posisi ketiga didalam kitab-kitab veda tapi dalam praktek upacara sangat menentukan setelah kitab reg veda. Samhita ini terdiri dari beberapa mantram yang umumnya dilakukan oleh pendeta-pendeta udgatr pada upacara-upacara yang penting terutama dalam persembahyangan juice,tanaman soma ,minyak ghee yang dicampur dengan susu dan campuran biji-bijian , sebagai persembahan yang dituangkan pada upacara dan mantra-mantasamaveda dilafalkan sebagai lagu kebaktian,samaveda muncul sebagai himpunanan mantram pemujaan mantram pemujaan dan mantram mantram yang dilampirkan yang asalnya terutama dari  kitab reg veda, diubah atau disusun kembali tanpa refernsi pada asalnya untuk disesuaikan.dengan upacara-upacara yang digunakan .
Terdapat 3 resensi samaveda yaitu kauthuma,ranayania,dan jaiminia . jaiminia merupakan yang terpenting, kauthuma terdiri dari 2 bagian ,bagian mantram dan brahmana . kitab mantra terdiri dari 2 sub bagian yaitu yaitu purvarcika dan uttararcika . seluruh kitab samaveda terdiri dari 1.875 mantram yang hanya 75 buah dari padanya tidak berasal dari reg veda dan sisanya 1.800 adalah diambil  dan merupakan pengulangan dari mantra-mantra reg veda.(Titib. 2011: 94)


2.3.4. Atharwa Veda
            Kata atharwa berarti “seorang purohita” yakni nama seorang Rsi. Mantra-mantra seorang veda di peroleh oleh maharsi bernama Atharvan. Kitab veda ini terdiri dari berbagai macam mantram menunjukan untuk mengusir kejahatan dan kehidupan yang sulit. Dan juga untuk menghancurkan musuh-musuh , mantram-mantram Atharva veda berbuntuk prosa di samping juga berbentuk puisi. Di dalam kitab atharva veda kita menemukan mantram-mantram Devata. Yang tidak di jumpai dalam kitab suci weda yang lain.mantram-mantram atharva veda terdiri dari mantram untuk memperoleh pengampunan dosa dan karunia dari dewa-dewa dan memohon ampun dan upacara untuk melenyapkan musuh-musuh , mantram pemujaan untuk memohon kemakmuran dibidang pertanian, perdagangan dan aktivitas lainnya yang juga untuk mengembangkan cinta kasih ,keharmonisan dan saling pengertian antara suami dan istri,ayah dengan anak-anaknya,guru dengan siswanya.
Aslinya terdapat Sembilan macam resensi tentang atharva veda yang kini masih tersisa hanyalah resensi dari sakha paippalada dan saunaka, Sembilan resensi itu adalah paipalada,danta,pradanta,snata,snauta,brahmadavala,saunaka,devadarsani dan caranavidya. Atharva  Atharva Veda terdiri dari 5.977 mantra berbentuk puisi tersebar dalam 20 buku (kanda). tiap  kanda dibagi kedalam lagu pujaan (himne) dan himne di bagi menjadi raca atau mantra/syair. (Titib. 2011 : 95)

2.4. Dewa-Dewa dalam Veda
Di dalam Veda Tuhan Yang Maha Esa dan para Deva disebut deva atau devata. Kata ini berarti cahaya, berkilauan, sinar gemerlapan. Svami Dayananda Sarasvati membuka pengertian yang lebih luas tentang deva atau devata yang beraneka ragam (pluralistis), yang telah diinterpretasikan oleh sarjana-sarjana Eropa, yang sesungguhnya memancar dari Tuhan Yang Maha Esa (Titib, 2011:313). Beraneka dewa atau devata itu adalah untuk memudahkan membayangkan-Nya seperti yang secara gamblang dijelaskan dalam mantram-mantram Veda.
Dalam teologi Hindu kita jumpai demikian banyak jumlah atau nama dewa-dewa itu. Kitab suci Rgveda seperti pula halnya Atharvaveda menyebutkan jumblah dewa-dewa itu sebanyak 33 dewa. Berikut adalah kutipan mantra yang menjelaskan tentang 33 deva tersebut:
“a nasatya tribhirekadasaimha devebhir yatam
madhupeyam asvina, prayustaristam ni rapam
si mrksatam sedhatam dveso bhavatam sacabhuva”.
                                                                        (Rgveda I. 34 .11)
Artinya:
“Semogalah Engkau tiga kali sebelas (33) tidak pernah jatuh dari kesucian, sumber
kebenaran, yang memimpin kami menuju jalan yang untuk memperoleh kebajikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa merakhmati persembahan kami, memperpanjang hidup kami, menghapuskan kekurangan kami, melenyapkan sifat-sifat jahat kami dan semoga semuanya itu tidak membelenggu kami”.

“Srustivano hi dasuse deva agne vicetatasah,
tan rohidasva girvanas trayastrimsatama vaha”.
                                                                        (Rgveda I. 45. 2)

Artinya:
“Ya Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah guru agung, penuh kebijaksanaan, menganugrahkan karunia kepada mereka yang mempersembahkan karya-karyanya. Ya Tuhan yang penuh cahaya gemerlapan, semogalah para pencari pengetahuan rohani dapat mengetahui rahasia dari 33 dewa (yang merupakan tenaga kosmos)”.

Di dalam kitab suci Yajurveda, dijumpai juga sebuah mantra yang menjelsakan tentang 33 deva sebagai berikut:

“ Trayastrimsatastuvata bhutanyasamyan
Prajapatih paramestayadhipatirasit”.
                                                                        (Yajurveda XIV. 31)
Artinya:
“Pemujaan oleh 33 deva dan kedamaian ditegakkan Tuhan Yang Maha Esa, Yang adalah maharaja dari senua makhluk, ia adalah penguasa dan pengendalinya”.

Selanjutnya, di dalam kitab suci Atharvaveda juga menjelaskan tentang 33 deva, sebagai berikut:
           
“yasya trayastrimsad deva ange sarve samahitah,
Skambham tam bruhi katamah svideva sah”.
                                                                        ( Atharvaveda X. 7. 13)


Artinya:
“Siapakah yang demikian banyak itu, ceritakan kepadaku, tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa yang meresapi segalanya, yang pada diri-Nya dikandung seluruh 33 dewa (sebagai kekuatan alam)”.
            Seluruh dewa-dewa itu terdiri dari 8 Vasu (Astavasu), 11 Rudra (Ekadasarudra), 12 Aditya (Dvadasaditya), serta Indra dan Prajapati. Yang termasuk dewa-dewa Astavasu (8 Vasu) menurut Visnu purana 15 dan Amsa purana 1 adalah:
1.      Anala/Agni (dewa api)
2.      Dhava/Prthivi (dewi bumi)
3.      Anila/Vayu (dewa angin)
4.      Prabhasa/Dyaus (dewa langit)
5.      Pratyusa/Surya (dewa matahari)
6.      Aha/Savitr (dewa antariksa)
7.      Candra/Soma (dewi bulan)
8.      Druva/Druha (dewa konstelasi planet)
Yang termasuk dewa-dewa Ekadasarudra (11 rudra) adalah: 1. Aja Ekapat; 2. Ahirbudhnya; 3. Virupaksa; 4. Suresvara; 5. Jayanta; 6. Bahurupa; 7. Aparijita; 8. Stivitra; 9. Tryambaka; 10. Vaivasvata; 11. Hara.
Ekadasarudra di atas dihubungkan dengan prana dan atma dalam tubuh manusia dan dalam ajaran Tantra 11 rudra itu dihubungkan (disimbolisasikan) dengan 11 aksara, yaitu: DA, DHA, NA, TA, THA, DA, DHA, NA, PA, PHA dan BA. Rudra sering diidentikkan dengan aspek krodha dari Siva sebagai penguasa 11 penjuru di alam raya.
Yang termasuk deva-deva Dvadasaditya adalah terdiri dari enam pasang deva, yaitu: Mitra-Varuna, Aryaman-Daksa, Bhaga-Amsa, Tvastr-Savitr, Pusan-Sukra, dan Vivasvat-Visnu (Rgveda XI. 27. 1). Keenam pasang dewa-dewa yang dimaksud merupakan wujud dewa yang transendent dan immanent. Dewa-dewa Dvadasaditya menurut kitab suci Rgveda X .63.2, I.72.9, VII. 10.3, dan Atharvaveda XIII.1.38 menjelaskan sebagai berikut:
a.       Transendent: 1. Mitra (sahabat); 2. Aryaman (mengalahkan musuh); 3. Bhaga (pemurah); 4. Tvastr (pembentuk); 5. Pusan (energi); 6.Vivasvat (gemerlapan).
b.      Immanent : 1. Varuna (langit); 2. Daksa (ahli); 3. Amsa (yang bebas); 4. Savitr (pelebur); 5. Sukra (kekuatan); 6. Visnu (yang meresapi)
Sebagai telah diuraikan di atas , teologi Veda adalah Monotheisme Transendent yaitu Tuhan digambarkan dalam wujud Personal God (Tuhan yang berpribadi), dan Monotheisme Immanent yaitu Tuhan digambarkan Impersonal God (tidak berpribadi), tidak ada wujud/bandingan apapun untuk menggambarkannya.
Penggambaran dalam wujud tertentu itu adalah untuk memudahkan membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat yang ditunjukkan-Nya. Penggambaran Dewa dalam Veda digambarkan sebagai berikut:
1.      Dewa Dyaus
Adalah dewa langit. Ia merupakan Bapak dari dewa dan merupakan dewa tertua dari seluruh deva. Di dalam mantra dilambangkan sebagai dewa Akasa dan dikenal paling berkuasa atas Sorga. Nama Dyaus dalam Rgveda terbaca tidak kurang dari 50 kali. Di dalam berbagai mantra Rgveda , ia disebut juga sebagai pencipta semua makhluk.
2.      Dewi Prthivi
Adalah dewi bumi, digambarkan sebagai seorang wanita yang sangat ramah dan merupakan dambaan setiap orang. Prtivi artinya yang mempunyai permukaan lebar, yang dimaksud adalah Bumi.
3.      Dewi Aditi dan Dewa-Dewa Aditya
Aditi selalu disebut sebagai seorang devi, ibu para deva. Ia disebut devi yang memberikan kebahagiaan. Aditya berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan sebagai deva-deva yang merupakan satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai deva yang mempunyai kekuasaan yang paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum yang mengatur peredaran alam semesta. Ia mengatur tata-surya dan mengatur hukum dunia.
4.      Dewa Agni
Agni sering disebut dalam Veda, disamping Indra dan Surya. Fungsi Agni sebagai pendeta, sebagai duta, sebagai pemberi berkah, sebagai ahli Veda, penjaga rumah, sebagai saksi sehingga Agni dimuliakan. Ia juga dikenal sebagai pengusir roh jahat, pengantar yajna. Aditya juga dipergunakan sebagai pengganti nama Surya matahari.
5.      Dewa Surya
Adalah dewa matahari, ia dipuja sebagai wajah agni di angkasa (Rgveda X. 7. 3). Ia juga disebut Divakara (Atharvaveda IV. 10. 5). Dewa Surya adalah putra Aditi dengan Dyaus, Devi Usas (fajar) adalah saudaranya.
6.      Dewa Varuna
Varuna sering diucapkan/ditulis Baruna dan selalu dihubungkan dengan laut. Nama Varuna sering dikaitkan dengan dewa Indra dan Mitra. Varuna berasal dari kata “Var” ( menutup/membentang) yang berarti melindungi dari segala penjuru. Dari kata ini kemudian dihungkan dengan laut. Varuna dianggap sebagai deva yang mengawasi alam semesta.
7.      Dewa Asvin
Asvin adalah dewa kembar. Namanya disebut-sebut dalam Veda lebih dari 400 kali. Mereka dianggap sebagai deva yang paling muda, tampan dan cemerlang, dan keretanya diibaratkan sebagai matahari. Dalam Rgveda X. 61 dinyatakan bahwa Asvin adalah putra Surya. Dalam Mahabharata mereka menjelma menjadi Nakula dan Sahadeva.
8.      Dewi Usas
Usas adalah dewi fajar, disebut lebih dari 300 kali dalam Veda. Sebagai seorang devi ia digambarkan memiliki sifat yang manja, tubuhnya langsing, melenyapkan kegelapan, membangunkan orang dari tidur, mengusir mimpi dan membangunkan orang untuk sembahyang pagi. Ia dianggap bersaudara dengan Aditya. Menurut akar katanya, Usas berasal dari kata “Vas” yang berarti bersinar dan dianggap personifikasi aura matahari di waktu terbit.
9.      Dewa Indra
Seperti deva Agni dan Vayu, deva Indra sangat dominan disebut dalam Veda. Kata Indra berasal dari kata “Ind” dan “dri”, yang artinya ‘yang member makan’. Menurut Nirukta kata Ind berarti penuh tenaga. Indra pada mulanya adalah deva hujan yang mengalahkan raksasa Vrta, senjatanya adalah Bajra (petir).
10.  Dewa Vayu
Adalah dewa angin, sering dihubungkan dengan Indra sebagai penguasa atmosfir. Dalam Rgveda, Vayu lebih popular dengan nama Vata, yang memberikan kesejukan, kesehatan, dan kesegaran jasmani.
11.  Dewa Soma
Soma tidak hanya sebagai dewa, tetapi juga dikenal sebagai jenis tanaman. Sangat sering disebut dalam Veda. Soma merupakan minuman para deva, diidentikan sebagai Indu yang berarti tetesan yang cemerlang.
12.  Deva Visvakarma
Deva Visvakarma di dalam Veda lebih popular disebut Tvastr yang artinya pembentuk atau pembuat. Kata Visvakarma berarti mengerjakan semua pekerjaan. Dalam Veda ia disebut sebagai pencipta dan pemelihara, dan pada zaman Purana fungsinya diambil alih oleh Dewa Brahma dan Visnu.
13.  Dewa Yama
Adalah hakim agung raja alam pitra (akhirat). Yama lahir kembar dampit, adiknya bernama Yami. Menurut Max Muller, Vivasvat adalah penguasa langit, Saranya lambang fajar, Yama lambing siang hari dan Yami lambang malam hari. Yama adalah dewa yang kejan terhadap orang jahat dan sebagai penguasa alam baka.
14.  Dewa Visnu
Dewa Visnu pada zaman Brahmana dan Purana menduduki tempat yang penting sedangkan pada zaman Veda kurang berperan. Visnu dalam Veda adalah nama lain dari Surya. Visnu adalah deva yang berkuasa atas orde dank arena itu, ia disebut sebagai pemelihara. Secara lahiriah ia ditafsirkan pula seperti matahari (Surya) dan dikenal pula sebagai Suparna atau Garutman. di dalam Purana Suparna atau Garutman adalah wahana Visnu dan senjatanya adalah Cakra lambing matahari, menunjukkan karakter Surya.

15.  Dewa Rudra
Deva Rudra tidak banyak disebut dalam Rgveda, tetapi dalm berbagai kitab sesudah Rgveda, Deva Rudra mulai semakin banyak dipuja dan bahkan diidentikkan dengan Deva Siva (Siva Rudra). Kitab Yajurveda dan Atharvaveda lebih menyebutkan Dewa Rudra. Ia merupakan dewa yang sangat pengasih seperti seorang ayah yang menyayangi putranya. Ia juga merupakan deva yang memberikan kesembuhan kepada setiap makhluk dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
16.  Dewi Sarasvati
Kata Sarasvati berasal dari urat kata “sr” yang artinya mengalir dan di dalam Veda Sarasvati adalah nama dewi sungai dan dewi ucap (pengetahuan dan kebijaksanaan). Dalam kitab Purana, dewi Sarasvati disamping sebagai ilmu pengetahuan dan dewi sungai adalah juga sakti dewa Brahma. Ia digambarkan sebagai wanita yang berkulit putih bersih, perilakunya lemah lembut.(Titib,2011:326)

2.5. Cara Belajar Veda yang Gampang dan Tepat
Seiring perkembangan jaman di era modern sperti sekrang ini umat Hindu lebih cenderung terpengaruh mempelajari budaya asing yang bukann selayaknya ditiru, bahkan sampai melupakan jati dirinya yaitu sebagai umat hindu yang sudah seharusnya mempelajari dan mengetahui isi dari Veda agar dapat di amalkan pada kehidupan.  Salah satu penyebabnya juga dikarenakan kurangnya minat umat Hindu untuk membaca isi dari veda , karena dengan cara membaca cenderung membosankan dan membuat jenuh, maka agar dapat mempelajari veda dengan menyenangkan dapat dilakukan dengan memanfaat tekhnologi seperti televisi kearah yang positif, dimana televise yang biasanya menyajikan tontonan seperti film,sinetron,gossip,dll, kini dimanfaatkan dengan menayangkan ajaran Veda dalam praktek yang dijabarkan dalam kisah-kisah itihasa dan purana yang telah diubah menjadi film seperti film Mahabharata, pada jaman dahulu penjabaran ajaran veda diubah dalakm bentuk wayang,cara menyampaikan ajaran agama dalam bentuk cerita jauh lebih efektif daripada  mempelajari agama melalu ayat-ayat kitab suci yang sulit dipahami,terutama untuk kalangan masyarakat awam,dengan hadirnya film seperti Mahabharata kita dapat belajar ajaran Hindu melalui kisah-kisah yang penuh makna,tanpa disadari dengan menonton dan mengikuti jalan ceritanya kita telah mempelajari veda dengan menyenangkan tanpa membaca kitab suci ataupun buku yang terkesan membosankan. Contoh ajaran veda dalam cerita Mahabharata yaitu dalam ceritanya kita dapat belajar ajaran satya semaya (setia kepada janji) dari Rsi Bhisma, belajar ajaran satya mitra(setia pada teman)  dari karna, belajar kepatuhan terhadap ibu dari panca pandawa,belajar hokum atau dharma atau kebijakan yang benar dari yudhistira dan shri Krhisna,mengetahui sifat keangkuhan dari duryodana yang harus dihindari,mengetahui kepolitikan dari sengkuni yang tidak patut ditiru,dll
Melalui film, jauh lebih mudah memahami alur-alur cerita sehingga Mudah diingat,
dan sering menjadi renungan dalam menjalani kehidupan maka akan banyak Penikmat kisah (penonton) Mahabharata, dapat memetik nilai-nilai kehidupan dalam bentuk pemahaman baru yang dapat menumbuhkan kesadaran untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Veda Menurut keterangan kitab Mahabharata. Kisah-kisah yang terdapat didalamnya merupakan kisah yang terberkati, kisah yang bukan sekedar cerita. Para bijak menjelaskan bahwa barang siapa yang mendengarkan, membaca, merenungkan kisah yang diceritakan itu, maka ia dapat memperoleh kesejahteraan,kedamaian, dan panjang umur. Bahkan dijanjikan surga dan dosanya akan dihapuskan jika seseorang mau mempelajarinya secara mendalam dan menyampaikannya kepada orang lain. Dalam kontek kekinian, dengan menonton film rohani seperti Mahabharata, seseorang dapat menemukan arti hidup, menemukan kebijaksanaan, dan tentunya tertarik untuk menerapkannya dalam kehidupan.


2.6  . Tempat suci, Hari suci dan Orang suci Agama Hindu

2.6.1. Tempat Suci Agama Hindu
Setiap agama yang ada di muka bumi ini memiliki tempat suci. Tempat suci bagi penganut agama yang bersangkutan merupakan sarana atau salah satu alat upakara untuk mengadakan kontak atau hubungan kehadapan Tuhan yang dipujanya. Di samping itu, keberadaan tempat suci untuk suatu agama juga merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan pengakuan dari Negara. Tempat suci umat Hindu disebut dengan nama Pura. Kata pura berasal dari bahasa Sansekerta pur yang artinya kota, benteng atau tempat yang di kelilingi tembok. Berdasarkan arti kata tersebut maka Pura dapat diartikan sebagai tempat yang dikelilingi oleh tembok atau penyengker yang khusus sebagai tempat yang suci. Bentengan tembok itu fungsinya tiada lain adalah sebagai pemisah antara areal yang disucikan dan yang biasa. Meskipun demikian areal yang ada disekitar pura tersebut tetap mesti dijaga kebersihan, keindahan dan ketenangannya demi menjaga kesucian pura itu sendiri. Selain itu tembok penyengker juga berfungsi sebagai pelindung benda-benda yang ada di dalamnya agar tidak mudah terjamah dan tercemari kesuciannya. Tempat suci umat Hindu selain disebut dengan nama pura juga disebut dengan nama Kahyangan atau Parhyangan dan Sanggah atau Merajan. Pura sebagai tempat suci umat Hindu diperkirakan telah digunakan sejak zaman Dalem (sebutan untuk raja-raja Bali keturunan Kresna Kepakisan) berkuasa di Bali. Sebelum dikenal istilah pura, tempat suci sebagai tempat pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di Indonesia, Bali, khususnya, dikenal dengan istilah Kahyangan atau Hyang. Pada zaman Bali Kuno, istilah yang digunakan oleh umat Hindu untuk menamakan tempat suci adalah Ulon. Ulon berarti tempat suci yang digunakan untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan. Hal ini termuat dan dijelaskan dalam Prasasti Sukawana AI (Tahun 882 M). Demikian pula dalam Prasasti Pura Kehen disebutkan istilah Hyang. Berdasarkan Lontar Usana Dewa, Mpu Kuturanlah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa, seperti pemujaan dewa di Jawa Timur.
Mpu Kuturan adalah tokoh agama Hindu yang bersal dari Jawa. Beliau datang ke Bali pada masa pemerintahan Raja Marakata dan Anak Wungsu, putra Raja Udayana. Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali banyak memberikan perubahan-perubahan pada masyarakat Bali terutama tentang tata cara upacara keagamaan. Beliau mengajarkan tata cara membuat Sad Kahyangan Jagat, Kahyangan Catur Lokapala, Kahyangan Rwabhineda, Pelinggih, Meru, Gedong, dan Kahyangan Tiga di setiap desa adat serta memperbesar Pura Besakih. Selain mengajarkan membuat bangunan secara fisik, beliau juga mengajarkan membuat bangunan secara spiritual, seperti berbagai jenis upacara, pedagingan pelinggih, dan sebagainya seperti dijelaskan dalam lontar Dewa Tattwa. Istana raja-raja di Bali sebelum diperintah oleh Dalem disebut dengan istilah Kedaton atau Keraton. Setelah dinasti Dalem memerintah di Bali, istana raja-raja disebut dengan istilah Pura.Hal ini disebabkan karena apa yang berlaku di Majapahit dilaksanakan juga di Bali sesuai dengan bunyi kitab Negarakertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit demikian pula berlaku di Bali oleh dinasti Dalem. Keraton Dalem terletak di Samprangan disebut Lingarsa Pura. Keraton Dalem yang terletak di Gelgel disebut Suweca Pura dan Keraton Dalem yang terletak di Klungkung disebut Semara Pura. Setelah dinasti Dalem berkeraton di Klungkung atau Semara Pura, istilah pura mulai dipergunakan untuk menyebutkan nama tempat suci pemujaan, sedangkan istana raja disebut dengan nama Puri. Demikianlah istilah pura menjadi istilah untuk menyebutkan nama tempat suci bagi umat Hindu di Indonesia sampai sekarang.

Syarat-Syarat Pembuatan Tempat Suci
Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan kawasan untuk membangun tempat suci. Dala tradisi di Bali termuat dalam beberapa lontar menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang “gingsih” dan tidak berbau busuk. Tempat-tempat yang ideal untuk membangun tempat suci adalah seperti disebutkan pada kutipan-kutipan dari Bhavisya Purana dan Brhat Samhita yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning sagara-giri” atau “sagara-giri adumukha”, tempatnya sangat indah di samping vibrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut. menurut keyakinan umat Hindu, letak tempat suci ditempatkan di hulu, yaitu berpedoman kepada matahari terbit atau letak gunung. Matahari terbit dan letak gunung diyakini sebagai arah yang suci karena kedua sumber ala mini diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan semua mahluk hidup. Di Bali khususnya, arah hulu itu terletak pada arah timur dan utara atau disudut timur laut. Di beberapa tempat tertentu, ada pula yang mempergunakan arah hulu itu menuju jalan atau kearah sungai.Diawali dengan mengadakan pertemuan atau penyatuan sabda, vayu, dan idep, dilanjutkan dengan penentuan hari baik (dewasa) dan penentuan letak atau tempat. Selanjutnya, dilakukan pembangunan tempat suci tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Ngeruwak karang, yaitu ngerubah status tanah
b.      Nyukat karang, yaitu mengukur secara pasti.
c.       Nasarin, yaitu meletakkan dasar bangunan.
d.      Memakuh, Malaspas, yaitu mengadakan upacara peresmian.
e.       Ngurip-ngurip, yaitu upacara menghidupkan bangunan secara lahir dan bathin atau spiritual.
Berdasarkan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu telah ditetapkan pemilihan tempat dan penentuan denah untuk membangun tempat suci sebagai berikut :
a.       Membangun Pemerajan / Sanggah, letaknya di hulu pekarangan rumah.
b.      Pura Desa sebaiknya terletak ditengah-tengah desa pada tempat yang dipandang suci oleh Krama Desa bersangkutan.
c.       Pura Puseh sama letaknya dengan Pura Desa.
d.      Pura Desa dan Pura Puseh boleh digabungkan dalam satu areal.
e.       Pura Dalem sebaiknya terletak di hilir (teben) desa. Palinggih Prajapatti letaknya di hulu setra.

Struktur dan Hakikat Tempat Suci
        Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) berada dimana-mana, tidak ada tempat yang tidak dipenuhi o leh-Nya. Dalam keadaan demikian, Dia disebut “wyapi-wyapaka nirwikara”. Tuhan Yang Maha Esa ada dimana-mana dan menjiwai alam semesta beserta isinya. Tuhan yang menyebabkan bumi berputar, matahari menguluarkan panas dan bersinar, tanah menghidupkan tumbuh-tumbuhan. Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan mengalami lahir, hidup, dan mati. Tuhan yang menciptakan dan menjiwai alam semesta beserta isinya. Wujud nyata dari Tuhan adalah alam semesta ini, sedangkan di alam kosong Beliau disebut Sunya. Alam semesta adalah sthana atau tempatnya Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta ini sangat luas atau abstrak sehingga sulit diketahui secara utuh oleh manusia. Oleh karena itu, umat Hindu membuat simbol yang lebih kongkrit dari alam semesta sebagai tempat dari Tuhan. Melalui simbol-simbol yang tersusun itulah, umat Hindu melaksanakan pemujaan kepada Tuhan. Dalam Kakawin Dharma Sunya disebutkan sebagai berikut : “Bhatara Siva sira suwung, sifat ipun ikang kasar a wujud donya,
kaanggap wangun ndi, yen karingkes dados ndi Himalaya, yen
karingkes dados meru ndi kadi ning tanah Bali, yen karingkes malih dados titiang.”

Artinya:
       Bhatara Siva amat gaib, sifat nyatanya berbentuk dunia dianggap bangunan itu, kalau diringkas menjadi gunung di Himalaya, kalau diringkas lagi menjadi Meru, seperti di Bali, Meru diringkas lagi menjadi diri kita.Demikianlah, Kakawin Dharma Sunya melukiskan atau menggambarkan alam semesta beserta isinya yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pada mulanya, gunung dianggap seperti stana atau linggih dari Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal gunung sebagai simbol alam bawah (bhur loka), badan gunung sebagai alam tengah (bhwah loka) dan puncak gunung dipandang sebagai alam atas (swah loka). Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Kuno di Indonesia, gunung dipandang sebagai alam dewa-dewa atau tempat Tuhan Yang Maha Esa. Struktur bangunan tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, bhur loka, bhwah loka dan swah loka. Di Bali diwujudkan dengan penataan bangunan tempat suci dalam sebuah areal dibagi menjadi tiga bagian wilayah yang disebut dengan Tri Mandala yaitu :
a.       Nistha Mandala atau jaba sisi merupakan mandala yang tidak begitu suci karena areal ini merupakan tempat melakukan kegiatan manusia seperti pada umumnya selama kegiatan tersebut tidak melanggar hukum. Pada jaba sisi ini biasanya sebagai tempat parkir, hiburan, tempat berdagang, MCK dsebagainya.
b.      Madia Mandala atau jaba tengah adalah areal yang bersifat setengah suci sebagai tempat melakukan kegiatan untuk mempersiapkan perlengkapan bagi pelaksanaan upacara seperti mejejahitan ataupun kegiatan yang lain. Pada Jaba Tengah ini biasanya terdapat bangunan seperti Bale Pesandekan, wantilan ataupun bale tempat gamelan. Akan tetapi meski status jaba tengah setengah suci, tetap mesti dijaga kesucuiannya dengan mengenakan pakian adat kepura bagi setiap orang yang memasukinya dan Mebanyuawang.
c.       Utama Mandala atau jeroan adalah areal yang paling suci. Setiap orang yang memasuki mandala ini harus memenuhi persyaratan kesucian seperti berpakaian yang semestinya, tidak dalam keadaan cuntaka dan mendapat Banyuawang sebelum masuk ke jeroan. Hal seperti ini penting untuk diperhatikan demi menjaga kesucian Pura itu sendiri.
Seiring dengan kemajuan perdaban umat manusia, Lingga dipandang sebagai simbol alam semesta sekaligus tempat bersemayamnya Tuhan Yang Maha Esa. Bagian atas Lingga disebut Sivabhaga atau simbol alam atas, bagian tengah disebut Visnubhaga yang berbentuk segi delapan atau merupakan simbol alam tengah, dan bagian bawah berbentuk sedi empat disebut dengan Brahmabhaga atau simbol alam bawah. Keseluruhan bagian Lingga tersebut adalah lambang Purusa dan alasnya berbentuk segi empat disebut Yoni sebagai lambang Predana. Perkembangan selanjutnya adalah muncul bentuk Candi, Meru, Gedong, dan Padmasana. Semua itu digunakan sebagai lambang alam semesta yang dijiwai oleh Tuhan.

Bentuk-Bentuk Tempat Suci

Tempat suci umat Hindu terdiri atas berbagai macam bentuk. Bentuk-bentuk tersebut ada yang bersifat alami atau buatan. Namun, semua itu mengandung unsur-unsur alam. Pada bentuk tempat suci yang bersifat buatan terpatri unsur seni dari manusia yang dibuat dengan tetap memperhatikan serta menggunakan unsur-unsur alam. Berntuk-bentuk tempat suci umat Hindu yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), antara lain sebagai berikut :


a. Gunung

Gunung merupakan bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Sampai saat ini, umat Hindu masih memiliki pandangan dan keyakinan bahwa gunung adalah tempat atau linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Istha Dewata dan Roh Leluhur yang telah suci. Umat Hindu di India memandang bahwa gunung Maha Meru adalah simbol alam semesta sehingga puncaknya disimbolkan sebagai tempat bersemayamnya Tuhan beserta manifestasi-Nya. Apabila di India, gunung Maha Meru diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewa, di Jwa gunung Semeru dipercaya oleh umat Hindu Jawa sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan di Bali gunung Agung yang dipandang sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Bagi umat Hindu, gunung adalah simbol alam semesta, tempat puncaknya melambangkan alam atas (swah). Bagian badannya adalah alam tengah (bwah), dan pangkalnya adalah alam bawah (bhur). Disanalah, Bhatara Siva bersemayam. Kitanb Kakawin Dharma Sunya menyebutkan sebagai berikut :
“Bhatara Siva = Suwung.
Sipat ipun ikang kasar a wujud donya, kanggep wangun ndi, yen karngkes dados meru ndi Himalaya, yen karingkes malih dados meru kadi ring tanah Bali, yen karingkes malih dados tiyang.
Terjemahannya :
Bhatara Siva = Kosong
Sifat kasarnya berbentuk dunia. Dianggap berbangun gunung. Jika diringkas lagi menjadi Meru (Gunung Himalaya), kalau diringkas lagi menjadi Meru seperti di Bali, makin diringkas lagi menjadi manusia.
Uraian diatas adalah penggambaran tentang hakikat Bhatara Siva atau Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya yang kasar. Sedangkan wujud beliau yang lebih halus dijelaskan sebagai berikut :
“Bhatara Siva = Suwung
Sipat ipun ikang halus, inggih punika alusing donia, yen karingkes dados alusing ndi meru, yen karingkes dados alusing meru, yen karingkes malih dados alusing manusya.”
Terjemahannya :
Bhatara Siva = Hampa
Sifat halusnya ialah halusnya alam. Kalau diringkas menjadi halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi sangat halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi halusnya manusia.
Berdasarkan uraian dan penjelasan dari Kakawin Dharma Sunya di atas, dinyatakan pada zaman dahulu gunung diyakini sebagai sthana dan isthana Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Barang kali pandangan ini jugalah yang melatar belakangi mengapa tempat-tempat suci umat Hindu di Bali umumnya dibangun dekat dengan gunung atau menghadap gunung.


b. Lingga

Lingga adalah lambang yang digunakan oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siva. Lingga adalah lambang Siva. Umat Hindu memiliki banyak sarana dengan berbagai macam bentuk yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan. Kitab Bhagavadgita menyebutkan sebagai berikut :
“ye yatha mam prapadyante tam’s tathaiva bhajamy aham mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah.
(Bhagavadgita, IV.11)

Terjemahan :
Jalan mana pun ditempuh manusia kea rah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh-Parta.

      Demikian kitab suci menyebutkan, umat Hindu mendapatkan kebebasan dalam melaksanakan pemujaan kehadapan-Nya. Lingga adalah simbol gunung yang dikenal dengan istilah Linggacala atau lingga yang tetap tidak bergerak. Lingga dan gunung menurut keyakinan umat Hindu digunakan sebagai lambang alam semesta sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Pura Goa Gajah di daerah Gianyar, Bali, dapat dijumpai Lingga yang berjajar tiga diatas sebuah Yoni, tempatnya di ceruk goa sebelah timur. Lingga tersebut merupakan Lingga yang paling unik dan hanya dijumpai di Goa Gajah. Lingga tersebut diberi nama Tri Lingga. Berdasarkan bahan yang digunakan untuk membuatnya, Lingga dapat dibedakan sebagai berikut:

• Lingga phala (Lingga yang terbuat dari batu).
• Kanaka lingga (Lingga yang terbuat dari emas).
• Spatha lingga (Lingga yang terbuat dari permata).
• Gomaya lingga (Lingga yang terbuat dari tahi sapid an susu), terdapat di India.
• Lingga cala (Lingga sebagai gunung).
• Lingga (dewa-dewi) adalah Lingga yang terbuat dari banten, terdapat di Bali.

Berdasarkan bentuknya Lingga dapat dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut :
Ø Bagian puncak Lingga yang berbentuk bulat disebut Sivabhaga Lingga merupakan simbol dari sthana atau linggih dari Bhatara Siva.
Ø Bagian tengah Lingga yang berbentuk segi delapan disebut Visnubhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Visnu.
Ø Bagian bawah Lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Brahma.
Ø Dasar Lingga yang berbentuk empat dan pada salah satu sisinya terdapat sebuah saluran menyerupai mulut adalah tempat air dialirkan seperti pancuran. Dasar Lingga ini disebut dengan Yoni.

     Dari uraian diatas dijelaskan bahwa Sivabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga sebagai bagian dari Lingga yang melambangkan Purusa. Dasar Lingga yang disebut Yoni melambangkan Pradana. Pertemuan antara Purusa dan Pradana disebut juga sebagai pertemuan antara Akasa dan Prthiwi. Inilah yang mengakibatkan terjadinya kesuburan. Kesuburan yang dianugrahkan oleh Tuhan merupakan sumber dari kemakmuran umat manusia (umat Hindu).

c. Candi

Candi merupakan salah satu karya manusia yang menurut pandangan umat Hindu adalah simbol alam semesta. Candi merupakan salah satu hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai seni dan religi yang tinggi. Pemujaan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa ketika kebudayaannya belum maju menggunakan cara yang sangat sederhana. Cara yang dimaksud seperti menggunakan gunung sebagai lambang alam semesta tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan majunya peradaban manusia, kemudian gunung disimbolkan dengan candi. Gunung dipakai sebagai tempat suci oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dan candi merupakan bentuk tiruan (replica) dari gunung (Gunung Maha Meru). Dilihat dari bentuknya, candi melambangkan alam semesta dengan ketiga bagiannya. Atap candi melambangkan alam atas (swah loka), badan candi melambangkan alam tengah (bwah loka) dan kaki candi melambangkan alam bawah (bhur loka).
Pada bagian lain, ada kepercayaan bahwa seorang penguasa atau raja merupakan penjelmaan atau reinkarnasi dari salah satu dewa. Dengan demikian, jika ia meninggal dunia dan dilaksanakan upacara penyucian terhadap rohnya, atma dari raja tersebut dipandang akan manunggal dengan dewa yang berinkarnasi. Dalam upaya melakukan pemujaan kepada roh yang telah dipandang suci itu dibuatlah arca perwujudan dengan mengambil bentuk menyerupai dewa yang berinkarnasi. Guna menempatkan arca perwujudan itu maka dibuatkan bangunan. Kitab Negara kertagama, Pararaton, dan prasasti-prasati yang terdapat di Indonesia menyebutkan bentuk bangunan seperti diatas dengan nama Dharma atau Sang Hyang Sudharma. Bentuk bangunan ini dalam perkembangan selanjutnya lebih populer disebut dengan nama candi. Pada zaman raja-raja Hindu di Indonesia, upaya dan usaha untuk membangun candi tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, antara lain, Candi Badut, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Panataran, Candi Perwara, Candi Bajang Ratu, dan lainnya. Di Bali terdapat Candi Gunung Kawi. Candi-candi tersebut difungsikan sebagai tempat untuk memuja roh yang telah disucikan.

d. Meru

Candi sebagai tempat suci untuk memuliakan Tuhan dengan prabhawanya mengalami perkembangan dan perubahan menjadi Meru. Sampai saat ini, perkembangan bentuk bangunan itu masih dapat kita lihat di Bali. Meru memiliki atap bertingkat-tingkat dari tingkat satu, tiga, lima, tujuh, Sembilan, sebelas. Meru masih tetap mencerminkan pembagian Tri Loka sebagaimana yang terdapat pada bentuk candi. Meru merupakan simbol atau lambang andhabhuana atau alam semesta. Tingkatan atapnya melambangkan lapisan alam besar dan alam kecil (makrokosmos dan mikrokosmos). Meru adalah lambang alam semesta sebagai tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.
Meru adalah lambang gunung Maha Meru. Gunung merupakan lambang alam semesta sebagai linggih atau sthana Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya secara objektif. Uraian tentang Meru sebagai lambang gunung juga dijelaskan dalam Lontar Andhabhuana Lontar Tantu Pagelaran, Kakawin Dharma Sunya, dan Lontar Usana Bali. Tingkatan-tingakat atap Meru merupakan simbol dari penggabungan Dasaksara. Dasaksara adalah simbol berupa huruf sebagai jiwa seluruh bagian dari alam semesta ini (hurip bhuana) disebutkan ada sepuluh huruf suci sebagai hurip bhuana yang diletakkan I seluruh penjuru alam semesta ini dan dua di anatara huruf suci itu ditempatkan pada arah tengah. Adapun kesepuluh huruf-huruf suci tersebut antara lain : 1. Sa bertempat di arah timur, 2. Ba bertempat di arah selatan, 3. Ta bertempat di arah barat, 4. A bertempat di arah utara, 5. I bertempat di arah tengah, 6. Na bertempat di arah tenggara, 7. Ma bertempat diarah barat daya, 8. Si bertempat diarah barat laut, 9. Wa bertempat diaraah timur laut, 10 Ya bertempat di arah tengah. Penggabungan dari sepuluh huruf suci tersebut menghasilkan satu huruf suci yaitu, OM (Omkara). Dengan demikian, tingkatan-tingkatan pada atap Meru apabila dihubungkan dengan keberadaan huruf-huruf suci (lambang Ekadasa Dewata) terdapatlah bangunan meru yaitu sebagai berikut :

§ Meru beratap tingkat 9 merupakan lambang 8 huruf yang menempati 8 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara pada arah tengah menjadi 9 huruf suci sebagai lambang Dewata Nawa Sanga.

§ Meru beratap tingkat 7 merupakan lambang 4 huruf yang menempati 4 penjuru alam semesta ditambah tiga huruf yang menempati arah tengah yaitu, I, Om, Ya, menjadi tujuh huruf suci sebagai lambang Sapta Dewata atau Sapta Rsi.

§ Meru beratap tingkat 5 merupakan lambang dari 4 huruf menempati 4 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara yang menempati arah tengah menjadi 5 huruf suci sebagai lambang Panca Dewata.

§ Meru beratap tingkat 3 merupakan lambang dari 3 huruf yang menempati arah tengah yaitu I, Om, Ya, yang merupakan lambang dari Tri Purusa, yaitu Siva, Parama Siva, dan Sada Siva.

§ Meru beratap tingkat 2 merupakan lambang 2 huruf yang menempati arah tengah yaitu I dan Ya yang merupakan lambang dari Purusa dan Pradana.

§ Meru beratap tingkat 1 adalah lambang dari huruf Om yang merupakan lambang dari Sang Hyang Widhi Wasa yang Tunggal.

§ Meru beratap tingkat 11 merupakan lambang 11 huruf suci, yaitu, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dan Om yang merupakan lambang dari Eka Dasa Dewata.

     Meru merupakan lambang ibu dan bapak. Istilah ibu dan bapak berdasarkan Lontar Andhabhuana dimaksudkan bahwa kata ibu mengandung makna Ibu Pertiwi. Artinya, unsur pradhana tattwa dan kata bapak mengandung makna Aji Akasa yaitu unsur purusa tattwa. Pertemuan antara Purusa dengan Pradhana menyebabkan munculnya kekuatan maha besar yang menyebabkan terciptanya alam semestra ini beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan sebagai landasan pembangunan Meru yang difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan pemujaan roh suci leluhur yang bersemayam dilingkungan komplek Pura Besakih. Berdasarkan bentuknya, bangunan Meru yang dipergunakan untuk melaksanakan pemujaan kehadapan para dewa dengan roh suci leluhur sangat sulit dibedakan. Lontar Hastakosala membedakan bangunan Meru berdasarkan ukuran sikut yang dipakai untuk membangunnya, sedangkan Lontar Dewa Tattwa membedakannya berdasarkan pedagingan yang diisi atau disimpan pada bangunan Meru dan tempat suci atau pelinggih lainnya.

e. Padmasana

    Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai. Asana berarti tempat duduk. Dengan demikian padmasana adalah tempat duduk dari bunga teratai. Dalam pandangan umat Hindu, padmasana diartikan sebagai simbolis dari alam semesta sebagai istananya Sang Hyang Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk bangunan yang menjulang tinggi. Penemuan sejarah bidang agama menyebutkan bahwa para Dewa Hindu dilukiskan sebagai arca yang duduk diatas bungai teratai. Patung-patung dewa yang digambarkan duduk diatas bunga teratai banyak kita jumpai pada masa pemerintahan raja-raja Kediri, Singasari, Majapahit serta raja-raja Hindu di Bali. Bunga teratai memiliki helai daun berjumlah delapan delapan dan dapat dihubungkan dengan Asta Iswarya yaitu para dewa yang menguasai delapan penjuru arah dari alam semesta ini. Bunga teratai juga memiliki sifat dapat hidup pada tiga lapisan alam, seperti akarnya hidup didalam lumpur, daunnya hidup di arid an bunganya di udara. Ini dapat dihubungkan dengan Tri Bhuana yaitu bhur, bhwah, swah. Bunga teratai juga disebut dengan nama “Pangkaja” yang artinya lahir dari lumpur. Beberapa kitab Purana menceritakan bahwa para dewa muncul dari padmasana. Padmasana itu adalah lambang dari gunung Maha Meru yang juga sebagai simbol alam semesta tempat bersthananya Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam kenyataannya, bentuk bangunan padmasana seperti yang sering kita lihat di Bali (khususnya) adalah sebuah bangunan yang menjulang tinggi berbentuk Bedawang Nala yang dililit oleh dua ekor naga (Naga Besuki dan Naga Anantha Boga). Pada bagian tengah-belakang terdapat lukisan burung Garuda, di atasnya terdapat burung angsa, dan pada bagian samping kiri dan kanan dari singgasana terdapat lukisan Naga Taksaka. Dari seluruh bentuk bangunan itu, kita tidak dapat melihat lukisan padma. Untuk mengetahui semuanya itu, ada baiknya kita memperhatikan puja yang digunakan oleh pendeta (Siva-Buddha) pada saat mensthanakan (ngelinggihang) Sang Hyang Widhi Wasa.
      Di dalam Lontar Widhi Sastra menyebutkan tentang jenis-jenis pedagingan tempat suci, seperti Padmasana, Meru, Gedong, serta bangunan suci lainnya. Dalam jenis-jenis pedagingan inilah, kita jumpai bentuk pedagingan berupa padma. Pedagingan padmasana selengkapnya adalah banten suci, peras, dan lain-lainnya merupakan benda berbentuk logam dari Panca Datu, sebagai akar pesimpenan adalah uang kepeng. Logam diwujudkan sebagai kuwali yang melukiskan catur lokaphala, yaitu lukisan segi empat atau singsana sebagai lambang istana Tuhan Yang Maha Esa. Pada bagian belakang-tengah bangunan padmasana dihiasi dengan lukisan burung Garuda. Burung garuda adalah lambang dari perjuangan untuk mendapatkan kebebasan dengan mencari air kehidupan atau tirtha amertha. Pada bagian belakang padmasana, diatas burung garuda dilukiskan burung angsa yang sedang mengembangkan kedua sayapnya. Lontar indik tetandingan menjelaskan bahwa lukisan angsa adalah simbol dari Ongkara. Kedua sayapnya yang sedang mengembang melukiskan Ardha Chandra, yaitu bulan sabit. Badannya yang bulat melukiskan Windu, sedangkan leher dan kepalanya yang menjulur keatas melambangkan Nada. Angsa adalah jenis burung yang dalam tradisi Hindu digunakan sebagai lambang untuk melukiskan Ongkara, yaitu aksara suci Hindu. Padmasana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
Padmasana Berdasarkan Tempatnya. Dalam Lontar Wariga Catur Winasasari disebutkan berdasarkan tempatnya, bangunan padmasana di klasifikasikan menjadi 9 macam, antara lain sebagaiberikut:

·         Padma Kencana adalah padmasana yang terletak disebelah timur dan menghadap kearah barat.
·         Padmasana adalah padmasana yang terletak disebelah selatan dan menghadap ke arah utara.
·         Padmasari adalah padmasana yang terletak disebelah barat dan menghadap kea rah timur.
·         Padmalingga adalah padmasana yang terletak disebelah utara dan menghadap kearah selatan.
·         Padma Asta Sodana adalah padmasana yang terletak disebelah tenggara dan menghadap kearah barat laut.
·         Padma Noja adalah padmasana yang terletak disebelah barat daya dan menghadap kearah timur laut.
·         Padma Karo adalah padmasana yang terletak disebelah barat laut dan menghadap kearah tenggara.
·         Padma Saji adalah padmasana yang terletak di sebelah timur laut dan menghadap kearah barat daya.
·         Padma Kurung adalah padmasana yang terletak ditengah-tengah menghadap kearah pintu keluar (Lawangan).

      Kesembilan padmasana ini merupakan perwujudan yang konkrit dari ajaran agama Hindu yang meyakini bahwa Sang Hyang Widhi Wasa berada di mana-mana (wyapi-wyapakanirwikara).

2.6.2. Hari Suci Agama Hindu

1.      Hari Raya Nyepi
Hari Raya Nyepi  adalah cukup penting, malah satu-satunya hari raya Hindu yang pertama kali mendapat pengakuan hukum dari Pemerintah Negara Republik Indonesia; berdasarkan KEPRES. No. 3, tanggal 9 Januari 1983, Hari Raya Nyepi menjadi libur nasional.
Dalam perhitungannya Hari Raya Nyepi jatuh tiap tahun sekali sebagai Hari Raya Tahun Baru Isaka yang bertepatan jatuhnya pada Tilem Sasih Kesanga. Dengan demikian sasih Kesanga adalah akhir tahun Isaka, sedangkan tilem adalah akhir sasih. Jadi tileming sasih kesanga adalah akhir-akhir tahun Isaka. Secara pilosopis menurut filsafat Samkya, sanga (9) adalah angka tertinggi, terbesar, atau terakhir sebab semua angka-angka selanjutnya merupakan angka pengulangan saja dari angka-angka yang lebih kecil dari 9 (Sembilan).
Disamping itu menurut Wariga, Sasih Kesanga adalah puncaksasih Bhuta, sesuai pula dengan pergantian musim di Indonesia dimana sasih kesanga adalah akhir-akhir musim hujan yang segera akan berganti dengan musim cerah di sasih Kedasa yang tergolong sasih Dewa.
Secara methologis menurut lontar Sunari Gama pada Tileming sasih Kesanga adalah pesucian para Dewa dengan mengambil tempat beryoga di tengah-tengah samudra menghadap pada sumbernya yaitu Sang Hyang Acintya (Tuhan Yang Maha Esa) memohon Amertha Kamandalu. Untuk itu kepada umat diajarkan agar menjalankan “Pakerti Gama” yaitu mensucikan hari tersebut dengan melakukan upacara serta upakara Yajna sebagai usaha mendukung para Dewa menciptakan keselamatan dan kelestarian alam semesta. Adapun rangkaian hari Raya Nyepi yaitu Makiis atau Melasti, Pecaruan dan Pengerupukan, Nyepi, dan Ngebak Geni. Berikut akan dijelaskan mengenai rangkaian hari Raya tersebut.
a.       Makiis atau Melasti
Dua hari sebelum Tilem yaitu panglong ping 13 sasih Kesanga dilaksanakan upacara Melis yang disebut juga Mekiis atau Melasti. Upacara ini dilakukan dengan mengarak Pralingga-pralingga yang dipergunakan sebagai sarana selaku batu lompatan dalam memuja Tuhan ke laut atau ke sumber-sumber mata air yang dianggap bernilai kesucian. Tujuannya adalah antara lain untuk memohon amertha pada Sang Hyang Nawa Ruci (Tuhan dalam kedudukan-Nya sebagai penguasa laut dan pemilik amertha). Setelah selesai melakukan melasti kemudian dilanjutkan dengan upacara “Nyejer” yaitu memohon agar para Dewa berkenan tetap berada di tempat yang telah dikhususkan untuk itu selama kegiatan hari raya.
b.      Pecaruan dan Pengerupukan
Pada Tilem sasih Kesanga itu dilaksanakan  upacara Bhuta Yajna atau Pecarauan dengan tujuan membersihkan alam serta menetralisir kekuatan-kekuatan negative (Bhuta) demi keharmonisan dan kestabilan semesta ditahun yang akan datang. Pecaruan ini dilaksanakan pada tengah hari; menurut lontar Siwa Gama sedapat mungkin dilaksanakan pada waktu matahari mencapai titik kulminasi.
Senja harinya dilanjutkan dengan upacara “Ngrupuk” yaitu menabur-naburkan nasi Tawur (nasi yang dipakai caru tadi) sambil mengobar-ngobarkan api atau obor dan ada yang memukul kentogan serta yang lainnya sehingga hiruk pikuk kedengarannya. Maksudnya adalah agar para Bhuta Kala menjadi geger lalu keluar semuanya menerima nasi caru yang ditaburkan itu selanjutnya dengan kekuatang Sang Hyang Agni mereka pergi dari lingkungan kita kembali keasalnya dengan demikian diharapkan lingkungan hidup manusia menjadi bersih dari gangguan Bhuta Kala.
c.       Nyepi
Menurut Sunari Gama, nyepi dimulai jam 12 malam setelah Ngerupuk sampai jam 12 malam besoknya, jadi berimpit pada akhir dan awal tahun Isaka. Selama itu dipenuhi dengan yoga atau brata praline untuk mengakhiri segala karma terdahulu agar pada tahun-tahun berikutnya kita benar-benar mulai dengan sebagai berikut yang dikenal dengan nama Catur Brata Penyepian:
1.      Amati Gni yaitu tidak menyalakan api. Mengandung arti memadamkan api indrya untuk menghentikan kehidupan empiris ini dalam waktu sementara.
2.      Amati Karya yaitu tidak bekerja seperti biasanya.
3.      Amati Lelungan (Lelungayan) yaitu tidak bepergian.
4.      Amati Lelanguan yaitu tidak mengadakan hiburan, tidak bergembira ria, tidak rebut dan sebagainya.
Demikian cara-cara sekalanya atau cara karma Sanyasa-nya, dari segi niskalanya atau secara Yoga Sanyasa-nya dilaksanakan dengan menahan diri menjernihkan Trikaya dan bagi yang telah mampu melaksanakan “Mona Brata) yaitu tidak makan, tidak minum dan tidak berbicara selama 24 jam. Dalam prinsipnya adalah menjalankanyang namanya  Catur Paramartha, yaitu:
1.      Tapa yaitu mengekang indriya tidak memberikan apa yang menjadi kesenangannya.
2.      Brata yaitu berpantang dan setia pada janji.
3.      Yoga yaitu melakukan sadhana untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
4.      Samadhi yaitu menunggalkan diri dengan Tuhan.
d.      Ngembak Geni
Setelah lewat jam 12 malam termasuk sudah pergantian hari, sasih Kasanga berakhir tahun Isaka berakhirpula, maka tibalah Tahun Baru Isaka di sasih Kadasa yang menurut wariga adalah sasih yang terbaik, ini dirayakan dengan istilah Ngembak Gni maksudnya menghidupkan dengan mengobarkan api kehidupan  yang baru penuh gairah dan suci.
Demikianlah pelaksanaan Hari Raya Nyepi yang terdiri dari empat fase sebagai Hari Raya Tahun Baru Isaka.

2.      Hari Raya Saraswati
Hari Raya Saraswati jatuh pada hari Sabtu Umanis (legi) wuku Watugunung,dengan demikian hari raya ini akan datang setiap 210 hari sekali. Istilah Saraswati berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata saras dan wati. Saras berarti sesuatu yang mengalir atau berarti pula percakapan atau kata-kata. Wati yang berarti memiliki. Dewi Saraswati berarti dewanya kata-kata, pelajaran dan kebijaksanaan. Hal ini sangat sesuai dengan bunyi lintar di Bali yang menyatakan bahwa Dewi Saraswati menyelinap dalam lidah, Dewaning “Pangawruh”.
Di dalam sastra-sastra, kedudukan Dewi Saraswati ada bermacam-macam antara lain:
1.      Dalam Rg Veda, beliau adalah Dewa Sungai, seperti terlihat dalam mantra Sapta Gangga. Para Resi mohon rahmatnya, agar dianugrahi keselamata, kemasyuran dan kekayaan.
2.      Dalam kitab Brahmana beliau disamakan dengan Vac, yaitu Dewanya kata-kata.
3.      Dalam Maha Bharata beliau adalah dewa kebijaksanaan.
4.      Dalam ajaran Tri Murti, Dewi Saraswati dikenal sebagai saktinya Dewa Brahma.
Dengan pemujaan pada hari raya Saraswati menunjukkan bahwa orang sangat memuliakan ilmu pengetahuan. Akan besarnya manfaat ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia tidak perlu diragukan lagi. Dengan ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia ke dalam kedudukan yang tinggi diantara makhluk-makhluk lainnya.Kempuan untuk berpikir adalah anugrah Hyang Widhi yang amat mulia bagi umat manusia. Dengan pikirannya umat manusia dapat mengarahkan hidupnya lebih mudah. Oleh karena melalui pikiran itulah manusia menciptakan alat-alat untuk kemudahan hidupnya. Dengan alat-alat itu pula dapat dipergunakan untuk mengubah benda sekelilingnya sehingga berguna dan dapat menunjang hidupnya. Hasil berpikir itu merupakan pengetahuan yang dapat disumbangkan untuk kesejahteraan umat manusia dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Selain memiliki kemampuan berpikir yang mengantarkan dirinya ke alam ilmu pengetahuan. Manusia juga memiliki rasa.  Rasa manusia melahirkan keindahan, diantaranya adalah seni sastra. Karya sastra selalu memberi inspirasi kelembutan, keagungan dan idealism pada manusia. Maka itu manusia adalah makhluk bersastra dan mengagungkan sastra itu.
Umat Hindu mengkhususkan hari raya untuk mengenang dan mengagungkan anugrah yang mulia itu pada Hari Raya Saraswati. Walaupun telah disinggung akan besarnya manfaat ilmu pengetahuan itu, manusia juga harus menyadari bahwa untuk menyangganya diperlukan sikap mental dan moral yang tinggi. Sia-sialah pengetahuan itu bila berada pada orang yang buruk budi. Hari Raya Saraswati mengandung makna agar orang menjunjung dan mengormati kesucian ilmu pengetahuan itu. Ini berarti ia tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kesucian itu sendiri.
Rangakian pelaksanaan hari raya Saraswati hendaknya sudah dimulai pada pagi hari, sebelum tengah hari. Dilarang unuk merayakannya pada sore hari. Demikian menurut lontar Tutur Saraswati. Semua pustaka-pustaka keagamaan dan buku-buku pengetahuan lainnya diatur dalam tempat yang layak untuk itu. Dapat ditempatkan disatu meja yang telah dibersihkan. Setelah semua pustaka itu ditempatkan pada tempatnya, upakaranya ditempatkan dihadapannya. Jenis upakara dalam perayaan hari raya Saraswati sebagaimana disebut dalam lintar Sundari Gama:
Saniscara umanis watugunung, pujawali bhatara Saraswati Widhi Widhananya: suci, peras, daksina, palinggih, kembang payas, kembang cane, kembang biasa, banten sesayut, Saraswati prangkatan putih kuning saha rakatan sah wangi-wangi saha duluranya. (Sundarigama, 14).


Terjemahannya:
Saniscara umanis watugunung adalah puja wali Bhatari Saraswati. Saji-sajiannya adalah:
-          Suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cane, kembang biasa, sesayut saraswati, prangkatan putih kuning dan raka-raka, tidak ketinggalan harum-haruman dan sebagainya.
Sekurang-kurangnya upacara Saraswati itu terdiri dari Banten Saraswati, sodaan putih kuning dan canang selengkapnya. Tirtha yang digunakan hanyalah tirtha Saraswati, yang diperoleh dengan jalan mohon kehadapah Hyang Surya. Pelaksanaanya didahului dengan menghaturkan pasucian, ngayabang aturan, guna mohon kehadapan Hyang Saraswati agar mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, kemajuan melalui ilmu pengetahuan dan ajaran agama. Kemudian muspa dan dilanjutkan dengan matirtha. Upakara Saraswati ini agar ditetapkan “nyejer” selama satu hari. Pada malam harinya diharapakan supaya orang bersemadi, mengheningkan cipta atau mebaca kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana Bharata Yudha dan lain-lainnya. Keesokan harinya dilakukan dengan upacara “Banyu Pinaruh”. Pada hari ini umat diharapkan melakukan upacara sebagai berikut:
Sinta redite paing enjang eningnya, banu pinaruh asuci laksana ring beji kalaning prabhata, jajamas dening kumkuman, haturakna mwah laba ring bhatara ring sanggar, sega mwah jajamu sarwa mrik ring manusa swang-swang. (Sundarigama, 15)

Terjemahannya:
Pada hari redite paing, pagi-pagi disebut banyu pinaruh, saat membersihkan diri kepermandian, kemudian menyucikan diri dengan memercikan air kumkuman dilanjutkan dengan menghaturkan labaan kepada bhatara di Sanggar: Sega prajnan kuning dan jajamu serba harum untuk tiap-tiap orang. Setelah selesai muspa, matirtha, nunas jamu dan laban Saraswati/nasi prajnan barulah upacara Saraswati diakhiri (lebar).
Perayaan Saraswati disamping dilaksanakan di rumah masing-masing, akan lebih baik bilamana juga dirayakan di sekolah-sekolah atau tempat-tempat lain secara bersama-sama. Oleh karena di sekolah itulah tempatnya kita memperoleh ilmu pengetahuan.


2.6.3.      Orang Suci Agama Hindu
Orang Suci adalah manusia yang memiliki mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani, serta mempunyai kepekaan untuk menerina getaran-getaran gaib, dalam penampilannya dapat mewujudkan ketenangan dan penuh welas asih, yang di sertai kemurnian lahir dan batin di dalam mengamalkan ajaran agama, tidak terpengaruh oleh gelombang hidup suka dan duka. Didalam kitab suci, Para orang suci hindu disebut Sadhu, Sants, Mahant, atau Bhagavata. Mereka yang mengajarkan pengetahuan keinsafan rohani kepada masyarakat luas juga disebut guru atau Acharya. Mereka tidak saja mengajarkan secara teori tetapi juga melalui teladan pribadinya. Merekalah yang menjaga suksesi guru – murid yang tak terputuskan dari tuhan dan para acharya terdahulu sampai generrasi yang sekarang. Para santh, sadhu dan acharya adalah penjaga kelanjutan pewarisan dharma. Kaki padma mereka adalah tempat berlindung bagi semua jiva yang berkeinginan untuk mencapai kesempurnaan. Hindu masih tetap ada dan hidup segar hingga hari ini adalah karena mereka. Merekalah kepala dari seluruh masyarakat yang membangun tubuh hindu. Setiap umat hindu adalah murid yang dengan kerendahan hati memohon ajaran dari mereka. Ajaran mereka tiada lain adalah realisasi Veda itu sendiri dan merupakan kesempurnaan pengalaman rohani mereka di dalam jalan Veda.  

Syarat – Syarat Menjadi Orang Suci
Sebelum seseorang menjadi pemangku (orang suci) hal yang paling utama dilakukan yaitu Upacara pawintenan Gede. Kata pawintenan itu sendiri berasal dari kata winten, yang dapat diartikan dengan kata inten (berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten mengandung arti melaksanakan suatu upacara untuk mendapatkan sinar (cahaya) terang dari Sang Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui, serta menghayati ajaran pustaka suci Veda tanpa aral melintang. Magna dari pawintenan disini tidak lain yaitu memohon Waranugraha Sanghyang Widhi Wasa dalam prabawanya sebagai Sanghyang Guru yang memberi tuntunan, sebagai sanghyang Gana memberikan perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan sebagai Sang Hyang Aji Saraswati sebagai pemberi anugrah ilmu pengetahuan suci (Veda).
Dan disamping pelaksanaan upacara pawintenan dalam ajaran Veda untuk menjadi Orang suci, ada empat syarat yang mesti dimiliki yaitu:
1.      Widya adalah memiliki ilmu pengetahuan dan kerohanian (Apara Widya dan Para Widya)
2.      Satya adalah memiliki sifat jujur dan memegang teguh kebenaran
3.       Tapa adalah mampu mengendalikan diri dari segala godaan nafsu
4.        Sruta adalah mampu menerima getaran-getaran suci (wahyu)



Kedudukan Orang Suci
Melalui proses sakral yang di sebut “Dwijati” artinya lahir kedua kali. Lahir yang pertama melalui rahim seorang ibu dan yang kedua melalui proses sakralisasi dan proses pembelajara melalui seorang guru kerohanian yang mengajarkan Weda. Ada juga di sebut “Mediksa” artinya upacara penyucian seorang walaka menjadi pandita atau sulinggih. Orang-orang suci memiliki kedudukan khusus dan terhormat dalam masyarakat hindu. Masyarakat hindu menyebutnya “Sulinggih”“Su”artinya mulia atau utama dan “Ling” artinya kedudukan. Jadi, sulinggih artinya kedudukan utama atau mulia. Di dalam Kitab Weda Sruti dan Smerti di sebutkan beberapa gelar (kedudukan) untuk orang suci yang sesuai dengan keahliannya yaitu:
1.      Pendeta adalah gelar orang suci dari brahmana wangsa, beliau telah di dwijati atau di diksa.
2.      Dang Hyang adalah gelar orang suci dari brahmana wangsa yang berperan menjadi Maha Guru sperti Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Dwijendra.
3.      Rsi atau Bhagawadgita adalah gelar orang suci dari wangsa ksatria yang menjadi penyebar dan penentu ajaran agama.
4.      Mpu adalah gelar orang suci dari waisya wangsa yang bertugas memimpin upacara bhuta yadnya.
5.       Pinandita atau pemangku adalah orang suci yang ruang lingkupnya terbatas dan penyuciannya melalui upacara “ekajati”.  Beliau  mempunyai wewenang untuk muput upacara dalam skala kecil. Pemangku adalah orang yang disucikan melalui proses Ekajati/mawinten.
6.       Wasi adalah sejenis pemangku dari umat hindu di jawa.      
Dan beliau inilah yang memiliki tugas-tugas sesuai dengan fungsinya, yaitu:
Bertugas memimpin pelaksanaan Upacara atau Upakara keagamaan dan memberi petunjuk cara-cara pembuatan banten, Memberi Upanisad, Memberi Dewasa (niwakang dewasa).

                             
2.6.7 Lembaga Yang Mengayomi Agama Hindu

1.      Dapartemen Agama
Terbentuknya Departemen Agama tanggal 3 Januari 1946  adalah wujud pengakuan bahwa warga Negara Indonesia adalah masyarakat religius yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, juga sebagai wujud pelaksanaan Pancasila sila pertama dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 29 Walaupun Agama Hindu pada awal berdirinya Departemen Agama belum diakui, setidaktidaknya dapat diakui sebagai landasan hukum perjuangan umat agar Agama Hindu diakui secara resmi oleh Negara Indonesia. Hal ini terbukti bahwa khususnya di Bali terbentuk Dinas Agama Otonoi Daerah Bali pada tanggal 1 Januari 1955. Dan dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor  : 100 tahun 1962 bahwa, Dinas Agama yang awalnya hanya mengurusi urusan Agama Hindu berubah menjadi Kantor AgamaDaerah Tingkat I Bali yang mempunyai bagian Hindu, Islam, Kristen Protestan dan Katolik sebagai bawahan  Departemen Agama Pusat. Selanjutnya dengan Keputusan Menteri Agama  : 114 tahun 1969 yang dilaksanakan berdasarkan Intruksi Menteri Agama Nomor  :  8 tahun 1972 terbentuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha menyebabkan kedudukan Agama Hindu di Indonesia sejajar dengan agama-agama lain. Puncak dari pengakuan tersebut adalah dengan diterbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 3 tahun 1983 tertanggal 13 Januari 1983 menetapkan Hari Raya Nyepi  ( Tahun Baru Saka )  sebagai hari libur nasional.

2.      Parisadha Hindu Dharma Bali
Berdirinya Parisadha dan perannya sebagai lembaga keumatan
Parisadha sebagai lembaga tertinggi Umat Hundu berdiri ketika diadakan Pesamuan Agung Hindu Bali di Fakultas Sastra Universitas Udayana pada tanggal 21 s/d 22 Pebruari 1959.Pesamuan tersebut dihadiri oleh Pejabat, Staf Pemerintah, Pemimpin organisasi keagamaan Hindu di Bali, Yayasan bernafaskan Agama Hindu. Pesamuan tersebut memutuskan untuk mendirikan suatu majelis Agama Hindu yang diberi nama  Parisadha Dharma Hindu Bali,  dengan susunan pengurus terdiri dari  11 orang Sulinggih dan 22  orang paruman Walaka, yang dituangkan dalam bentuk piagam yang diberi nama : Piagam Parisadha  dengan akta pendirian nomor  :  50 tanggal 40 September 1959.Setelah berdiri, Parisadha mengadakan Pesamuan Agung I di SMP Dwijendra tanggal 3 Oktober 1959 dan atas dukungan Yayasan Dwijendra berdirilah Sekolah  PGHA Bali pada tanggal 4 Juli 1959.
Selanjutnya diadakan Pesamuan Agung II pada tanggal 19 Maret  1960, menyusul Pesamuan Agung  III, Pesamuan Agung IV tahun 1960 dan Pesamuan Agung V pada tanggal 21 Oktober 1961, dilanjutkan dengan pertemuan di Pura Gunung Lebah , Campuan Ubud pada tanggal 17-23 Nopember 19961 yang melahirkan keputusan penting yang disebut  Piagam Tjampuan Ubud  yang isinya tentang Dharma Agama dan Dharma Negara.Tahun 1964 baru bisa  diselenggarakan pertemuan tingkat nasiona yang disebut Mahasabha I, PDHB berubah menjadi Parisadha Hindu Dharma. Selanjutnya secara berkala diadakan Mahasabha, sampai pada Mahasabha V, Parisadha Hindu Dharma berubah nama menjadi Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selanjutnya setuap 5 tahun sekali diadakan Mahasabha dan sampai pada tahun 2006 PHDI telah mengadakan Mahasabha IX, dengan mengalami perubahan struktur kepengurusan. Peranan lembaga Hindu sebagai lembaga keumatan yaitu mengatur, memupuk, dan mengembangkan kehidupan umat Hindu di Bali.

3.      Desa Adat
Sesuai dengan ketentuan Perda Tingkat I di Bali Nomor 06 tahun 1986 ditetapkan tentang kependudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan drama pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Jumlah desa adat yang ada di Kabupaten Gianyar sampai dengan tahun 2004 sebanyak 266 desa adat yang tersebar di 69 desa/ kelurahan yang semuanya mempunyai awig-awig. Awig-awig dimaksud ada yang sudah tertuang dalam bentuk awig-awig tertulis dan belum tertulis. Khusus di kabupaten sebagian besar sudah mempunyai awig-awig tertulis. Desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai fungsi:
1.      Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
2.      Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya
3.      Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan dan keagamaan.
4.      Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali khususnya berdasarkan paras-paros selunglung sebayantaka.
5.      Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat
Pembinaan desa adat dilaksanakan dengan  pola melaksanakan ceramah-ceramah pembinaan desa adat, penyuluhan, penyuratan awig-awig desa adat pada setiap tahunnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai tri sukerta yaitu: Sukerta tata agama, sukerta tata pawongan dan sukerta tata palemahan yang pada hakikatnya semua bertujuan untuk dapat melestarikan tri hita karana, yaitu Parhyangan, palemahan dan Pawongan. Sedangkan adat istiadat dilandasi oleh Catur dresta yaitu purwadresta, lokadresta, desadresta dan sastradesta. Di dalam tri hita karana yaitu tiga penyebab kesejahteraan masyarakat, terlihat adanya tiga wujud hubungan manusia dengan penciptanya yaitu Hyang Widhi Wasa. Palemahan mewujudkan hubungan manusia dengan  alam lingkungan tempat tinggalnya dan pawongan mewujudkan hubungan manusia dengan manusia sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa. Untuk lebih jelasnya, dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1.   Hubungan Manusia dengan Hyang Widhi Wasa
Manusia  menyadari, bahwa diciptakan oleh Hyang Widhi Wasa karena itu manusia mempunyai hutang hidup kepada Hyang Widhi Wasa yang disebut Dewa Rna. Dewa Rna inilah landasan dari pada Dewa Yadnya yaitu suatu persembahan dan kebaktian kepada Hyang Widhi Wasa, sebagai rasa terima kasih atas anugrah Beliau memberi hidup dan kehidupan kepada manusia. Jadi hubungan disini berupa suweca dari Hyang Widhi Wasa kepada manusia dan bakti dari manusia kepada Hyang Widhi Wasa. Di dalam desa adat, hubungan ini dihubungkan dalam pemujaan terhadap Kayangan Tiga yaitu Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya.
2.   Hubungan Manusia dengan Palemahan
Palemahan berarti suatu wilayah atau teritorial pemukiman krama desa adat. Hyang Widhi Wasa sebelum manusia di ciptakan, terlebih dahulu Hyang Widhi Wasa menciptakan manusia beserta isi alam lainnya seperti tumbuh-tumbuhan, binatang dan lain-lain. Alam ciptaan Hyang Widhi Wasa adalah tempat manusia untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari untuk menempuh kehidupannya. Alam memberikan material yang diperlukan oleh manusia dan juga memberikan rasa estetik untuk kesegaran jiwa manusia. Hubungan manusia dengan wilayah tempat tinggalnya adalah merupakan hubungan yang harmonis yang dapat memunculkan rasa sejahtera lahir dan batin. Maka dari itulah manusia berkewajiban memelihara wilayahnya (bhuana agung)
3.   Hubungan Manusia dengan Manusia
Manusia merupakan ciptaan Hyang Widhi Wasa yang paling tinggi derajatnya, karena manusia diberikan tri prama yaitu tenaga, bicara dan pikiran. Maka itulah manusia diberikan oleh Hyang Widhi Wasa untuk mengatur dan memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan jagadhita atau kesejahteraan jagad secara bersama-sama. Hakikat manusia adalah satu seperti yang di sebutkan dalam chandoyogya upanisad dengan istilah tattwamasi yang artinya itu adalah engkau. Atas landasan tattwamasi itulah manusia mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang, karena keharmonisasi hubungan itu akan melahirkan perasaan aman, tentram dan sejahtera. Dari tattwamasi itu juga muncul rasa suka duka, selulung sebayantaka dan sebagainya.

4.      Majelis Desa Pekraman
Majelis Desa Pakraman atau singkat dengan MDP adalah merupakan organisasi yang bersifat religius. Majelis Desa Pakraman terdiri dari:
1.      Majelis Utama, berkedudukan di ibukota Propinsi Bali yang selanjutnya disingkat dengan MDP Bali.
2.      Majelis Madya, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota selanjutnya disingkat MDP/Kota
3.      Majelis Desa, berkedudukan di ibukota kecamatan selanjutnya disingkat MDP Kecamatan.
Adapun isi dari MDP adalah terwujudnya persatuan desa pakraman yang harmoni dan terjaganya adat dan sosial budaya Bali yang dilandasi Agama Hindu.Disamping visi dan misi MDP tersebut diatas, MDP mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut; Tugas MDP adalah
1.      Mewujudkan kesukertan tata Agama Hindu
2.      Mewujudkan persatuan dan kesatuan desa pakraman
3.       Menciptakan kesukertan jagad Bali
4.      Mengayomi adat istiadat Bali
5.      Meningkatkan kualitas karma desa pakraman
6.      Melestarikan Lingkungan dan tanah Bali
Disamping visi dan misi MDP tersebut diatas, MDP mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut; Tugas MDP :

1.      Mengayomi adat istiadat
2.      Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan, kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah adat
3.      Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang di tetapkan
4.      Membantu penyuratan awig-awig
5.      Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
MDP mempunyai wewenang :
1.      Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman.
2.      Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa
3.      Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupaten/ kota di propinsi Bali

a  Sakehe Teruna Teruni
Lembaga sosial ini terdapat di semua banjar di Kabupaten Gianyar. Lembaga ini merupakan organisasi pemuda-pemudi di bidang agama, adat istiadat dan bidang pembangunan.

b  Subak
Subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosial agraris religius, secara historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi tata air di tingkat usaha tani. Subak sebagai satu lembaga adat yang bergerak sebagai organisasi petani sawah dan tegalan melandasi diri pada adat dan agama. Walaupun pemerintah menetapkan aturan tata air dengan peraturan pemerintah No. 11 tahun 1982 tentang pengairan yang dilengkapi dengan PP No. 23 tahun 1982 tentang irigasi dan peraturan daerah No. 2 tahun 1972 tentang irigasi Bali, Subak tetap berperan di jaringan irigasi secara otonom di atur sendiri oleh subak yang bersangkutan.







BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agama Hindu yang kita kenal sekarang,lahir dan berkembang pertama kali di india, yaitu di daerah Punjab (di lembah sungai sindhu) dan dalam perkembanganya sampai kedaerah lembah sungai gangga dan yamuna. Nama Hindu berasal dari kata Sindhu yaitu nama sungai di India barat daya datanglah bangsa Arya dari daratan Eropa timur Laut ke India. Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap Dalam mempelajari Weda,
Kata Veda bearasal dari urat kata kerja ‘Vid’ yang artinya mengetahui dan veda berarti pengetahuan,dalam pengertian simantik veda berarti pengetahuan suci,kebenaran sejati,pengetahuan tentang ritual,kebijaksanaan yang tertinggi,pengetahuan spiritual sejati tentang kebenaran abadi,ajaran suci atau kitab suci sumber ajaran agama hindu. Di dalam veda terdapat Kitab Sruti dan smerti sruti  yaitu  berasal dari akar kata “srut” yang artinya mendengar. Kitab Sruti menunjukkan bahwa isi kitab itu merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan dan diterima secara langsung oleh para Maharsi melalui pendengarannya terdiri dari reg veda,samaveda,yajur veda,atharwa veda. kitab sruti terdiri dari reg veda,sama veda,yajur veda,atharva veda, kitab smerti yaitu veda yang disusun kembali berdasarkan ingatan yang terdiri dari vedangga dan uvawedangga.Dalam teologi Hindu kita jumpai demikian banyak jumlah atau nama dewa-dewa . Kitab suci Rgveda seperti pula halnya Atharvaveda menyebutkan jumblah dewa-dewa itu sebanyak 33 dewa.
Cara mempelajari veda yang praktis di jaman sekarang ini  salah satunya Melalui film Mahabharata dan Ramayana ,karena jika menonton film maka penonton jauh lebih mudah memahami alur-alur cerita sehingga Mudah diingat, dan sering menjadi renungan dalam menjalani kehidupan maka akan banyak Penikmat kisah (penonton) Mahabharata dan kisah Ramayana, dapat memetik nilai-nilai kehidupan dalam bentuk pemahaman baru yang dapat menumbuhkan kesadaran untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Veda, Menurut keterangan kitab Mahabharata, Ramayana.
Pulau bali terkenal dengan julukan pulau seribu pura terbukti karena adanya banyak pura di bali , tempat suci di bali menjadi daya Tarik pariwisata karena keindahanya , Hari suci yang penting di bali terdapat hari Raya Nyepi dan Saraswati begitu juga Orang suci di bali yang tidak sembarang orang bias menjadi orang suci ada ketentun dan persyaratanya. Lembaga yang mengayomi Agama Hindu diantaranya Dapartemen Agama, PHDI, Desa Adta dan Majelis Desa Pakraman.






















DAFTAR PUSTAKA

Ajegbali.org/node/43. 2015,10,22. 09.30, Drs. Anak Agung Gde Oka Netra
http://bimashindusultra.blogspot.co.id/2013/10/weda-kitab-suci-agama-hindu.html.2015,10,22. 09.35. I Nengah Sumendra, S.Ag., M.Fil.H
http://www.geocities.ws/bukukmhdi/bpk21.html.  2015,10,25, 18.30. Made Surya Putra
https://id.wikipedia.org/wiki/Purana. 2015,10,25. 19.00. Wikipedia
https://kompiangyaniari.wordpress.com/2015/01/13/hari-suci-agama-hindu/ .2015.12.29. 19.00.             Kompyangyaniari
Maswinara, I Wayan. 1999. Dewa-Dewa Hindu, Surabaya: Paramita
Pudja, G. 1983. RG Weda Sruti Mandala VI, Dapartemen Agama RI
Sadia W, dkk. 1983. RG Weda Sruti Mandala VI, Dapartemen Agama RI
Supriadi, Ida Bagus. 2004. Buku Pelajaran Agama Hindu. Surabaya : Paramita

Titib, I Made. 1994. Ketuhanan Dalam Weda, Denpasar : PT Pustaka Manikgeni
Tim Penatar. 1992. Bahan Penataran Guru-Guru Agama Hindu Tingkat SMTP dan SMTA. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali
Yasa, I G Badjera dan Goda, I Gst G. 1983. Acara Agama II. Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama R.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar