Tugas
: Ilmu Perbandingan Agama
Dosen : I Ketut Pasek Gunawan, M.Pd.H
AGAMA HINDU
DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK
I
1.
I
Gede Pasek Surya Fana (12.1.1.1.1.156)
2.
Niluh
Putu Sutrepti Utami (12.1.1.1.1.166)
3.
Luh
Putu Candra Wati (12.1.1.1.1.175)
4.
Ni
Kadek Deny Chandewi (12.1.1.1.1.177)
5.
I
Made Widiana (12.1.1.1.1.174)
6.
A
A, Gd Ngurah Pratama (12.1.1.1.1.187)
DHARMA
ACARYA
PENDIDIKAN
AGAMA HINDU
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2016
KATA
PENGANTAR
“Om
Swastyastu”
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena berkat
rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah dalam mata
kuliah”Pserbandingan Agama” yang Berkaitan dengan “Agama Hindu” ini tepat pada
waktu yang telah ditentukan.yang akan digunakan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Perbandingan Agama.
Karena
keterbatasan kemampuan dan waktu , kami sangat menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh sebab itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk masa yang akan datang. Kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
“
om, santih, santih, santih, om “
Denpasar,
29 Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................................... 4
1.Apakah Pengertian Sruti........................................................................................... 4
2.Apakah Isi Ctur Veda?.............................................................................................. 4
3.Siapakah Dewa-dewa dalam Catur Veda?................................................`............... 4
4. Bagaimanakah cara mempelajari Veda yang
gampang dan tepat?........................... 4
5. Bagaimanakah Tempat suci,Hari suci dan
Orang suci............................................. 4
6. Bagaimanakah lembaga yang mengayomi Agama
Hindu....................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Agama Hindu................................................................................................ 5
2.2.1 Kerajaan Hindu di Indonesia............................................................................ 5
2.2
Pengertian Sruti......................................................................................................... 6
2.3.
Isi Catur Veda............................................................................................................ 7
2.3.1 Reg Veda........................................................................................................... 7
2.3.2 Yajur Veda........................................................................................................ 8
2.3.3 Sama Veda........................................................................................................ 8
2.3.4 Atharva Veda.................................................................................................... 8
2 4.
Dewa-dewa dalam Veda........................................................................................... 11
2.5.
Cara mempelajari Veda yang gampang dan tepat.................................................... 16
2.6.
Tempat suci,Hari suci,dan Orang suci Agama Hindu.............................................. 17
2.6.1 Tempat Suci Agama Hindu.............................................................................. 17
2.6.2 Hari Suci Agama Hindu................................................................................... 29
2.6.3. Orang Suci Agama Hindu............................................................................... 34
2.7
Lembaga yang mengayomi Agama Hindu................................................................36
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ajaran agama dalam
Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun
dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat
nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di
jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua
dan lengkap Dalam mempelajari Weda, mungkin pertanyaan inilah yang pertama-tama
timbul dalam pikiran “Apakah itu Veda?”. Satu-satunya pemikiran yang secara
tradisional yang kita miliki adalah yang
mengatakan bahwa Weda adalah kitab suci agama Hindu. Apabila yang kita
maksudkan kitab suci maka Weda adalah merupakan buku atau kitab, kita tidak
membicarakan isinya, kita hanya melihat wujudnya. Buku itu berisikan
tulisan-tulisan, disusun rapi, ada penulisnya, ada pemikirannya dan ada pula
isinya berupa ajaran-ajaran. Buku adalah benda atau barang cetakan. Tetapi
tidak semua barang cetakan atau buku dapat kita namakan Weda.
Sebagai
kitab suci agama Hindu artinya bahwa buku itu diyakini dan dipedomani oleh umat
Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari ataupun untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dan
dinyatakan sebagai kitab suci karena sifat isinya dan merupakan wahyu Tuhan
yang dianggap Maha Suci. Apapun yang diturunkan sebagai ajaran oleh Tuhan
kepada umat manusia semuanya itu merupakan ajaran suci. Lebih-lebih isinya
memberi bimbingan tentang bagaimana hidup suci. Kata Veda bearasal dari urat
kata kerja ‘Vid’ yang artinya mengetahui dan veda berarti pengetahuan,dalam
pengertian simantik veda berarti pengetahuan suci,kebenaran sejati,pengetahuan
tentang ritual,kebijaksanaan yang tertinggi,pengetahuan spiritual sejati tentang
kebenaran abadi,ajaran suci atau kitab suci sumber ajarran agama hindu. (Titib,2011:17)
Kitab suci Weda diterima langsung oleh Para Maharsi yang dikenal dengan sebutan
Sapta Rsi. Ketujuh Maharsi itu ialah
maharsi Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri,Bhradwaja,Wasistha,dan Maharsi
Kanwa. Veda terdiri dari kitab Sruti dan Smerti berikut beberapa pembagian
kitab suci Veda :
1. Sruti
(kitab yang merupakan wahyu Tuhan yang Maha Esa yang diterima oleh para
Maharsi)
2. Reg
Veda (isinya berupa kumpulan mantra-mantra)
3. Sama
Veda (Isinya kumpulan mantra-mantra yang memuat umum nyanyian Lagu-lagu pujaan
yang dinyanyikan pada waktu pelaksanaan upacara)
4. Yajur
Veda (Isinya kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran umum mengenai
pokok-pokok yadnya , pokok ajaranya ada dua macam Yajur veda hitam dan Yajur
veda putih)
·
Yajur Veda hitam (Krşņa YajurVeda) yang
terdiri atas beberapa resensi a.l. Taiyiriya samhita dan Maitrayanisamhita.
·
Yajur
Veda putih (Śukla yajurVeda). yang juga
disebut Wajasaneji samhita.
5. Atharwa
Veda Isi kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis
(atharwan).
6. Smerti
(kelompok Veda yang disusun kembali berdasarkan ingatan)
7. Wedangga
(kitab yang berisi petunjuk-petunjuk tertentu
untuk mendalami Veda.)
8. Shiksa (Ilmu Phonetika)
·
Vyakarna
(ilmu tata bahasa)
·
Nirukta (Yakni ilmu
yang menjelaskan tentang etimologi kata-kata)
·
Chanda
(cabang Veda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu)
·
Jyotisha
(ilmu astrologi)
·
Kalpa
(Kitab mempelajari tentang Upacara Agama)
9. Upaveda
·
Ayurveda
(adalah
kitab-kitab yang menurut materi isinya menyangkut bidang ilmu kedokteran)
·
Dhanur
Veda (seni bela diri dan persenjataan)
·
Gandharva
Veda (seni music,sajak,dan tari)
·
Arthaveda
(ilmu
tentang politik atau ilmu tentang pemerintihan)
10. Purana
(Jenis ini merupakan kumpulan ceritera-ceritera kuno yang isinya memuat tradisi
tampat setempat)
·
Mahapurana ( oleh Maharsi Vyasa ) Mahapurana berjumlah
18 buah, antara lain : Visnu.
Narada, Bhagavata, Garuda, Padma, Varaha,
Brahmanda, Brahmavaivarta, Markandeya, Bhavisya,
Varuna, Brahma, Matsya, Kurma, Lingga,
Siva, Agni, Skanda.
·
Upapurana Upapurana juga berjumlah 18,
antara lain : Sanatkumara,
Narasimha, Brhannaradiya, Siva, Durvasa, Kapila,
Manava, Varuna, Kalika, Mahesvara, Samba,
Saura, Parasara, Devi Bhagavata, Aditya,
Vasistha, Visnu Darmottara, Ausanasa.
11. Itihasa (epos
yang terdiri atas dua macam yaitu ramayana dan Mahabharata)
12. Nibandha (memuat
banyak aturan yang mencakup sistem atau
cara pemujaan terhadap Tuhan)
13. Sarasamuscaya
(kitab suci sebagai tuntunan bagi mereka yg sudah melewati grehasta asrama)
14.
Bhasya (Berisi tentang
komentar terhadap buku Yogasutra ( Patanjali ).
Buku ini ditulis oleh Bhojaraja.)
15. Uttaramimamsa (Kitab-kitab ini
membahas Aranyaka
dan Upanisad)
16. Shrauta Sutra (membahas
tentang berbagai cara pemujaan, pemeliharaan atau melakukan penghormatan kepada
Triagni, yaitu Daksiagni, Ahawaniyagni, dan Grhapatyagni)
17. Shulwa Sutra (memuat
tentang peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan
(Pura, Candi), bangunan-bangunan lain)
18. Dharma Sutra (memuat
tentang aturan dasar yang mencakup bidang hokum, agama, kebiasaan atau Acara
dan Sistacara, dan sebagainya)
19. Sthapatya Veda ( ilmu
arsitektur,seni pahat,ilmu geomansi)
20. Upanishad
(himpunan mantra-mantra yang membabas berbagai aspek teori mengenai
ke-Tuhan-an)
21. Aranyaka
(Kitab suci yang menguraikan falsafah agama hindu serta sifat-sifat Tuhan)
22. Brahmana (kitab yang berisi himpunan doa-doa
yang dipergunakan upacara yajna)
Beberapa
jenis Lontar-lontar :
Lontar-lontar
Tattwa ,
Lontar-lontar ini
memuat ajaran Ketuhanan, disamping itu juga memuat ajaran tentang penciptaan
alam semesta, ajaran pelepasan (moksa) dan sebagainya.sebagian besar
lontar-lontar tattwa ini bersifat siwaistik (sivaisme) dan beberapa diantaranya
telah dikaji secara kritis oleh beberapa sarjana.Lontar-lontar jenis ini antara
lain :
a. Bhuwana
kosa
b.
Ganapati tattwa
c. Jnana
sidhanta
d.
Bhuana Sangksepa
e. Sanghyang
Mahajnana
f. Tattwa
Jnana
g. Wrhaspati
tattwa
Lontar-lontar
ethika
Lontar-lontar
jenis ini berisi ajaran tentang ethika,kebijakan tuntunan untuk menjadi orang
sadhu yaitu orang arif dan bjaksana,berbudi luhur,berpribadi mulia dan berhati
suci. Yang termasuk Lontar ini antara lain:
a. Sarassamuscaya
b.
Slokantara
1.2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
Sejarah Agama Hindu ?
2. Apakah
Pengertian Sruti?
3. Apakah
isi catur Veda ?
4. Siapakah
Dewa-Dewa dalam Catur Veda?
5. Bagaimana
cara belajar Veda yang gampang dan tepat?
6. Bagaimanakah
Tempat suci,Hari suci dan Orang suci Agama Hindu ?
7. Bagaimanakah
Lembaga yang mengayomi Agama Hindu ?
1.3.
Tujuan
1. Untuk
mengetahuia Sejarah Agama Hindu
2. Untuk
mengetahui pengertian Sruti.
3. Untuk
mengetahui isi dari catur Veda tersebut.
4. Untuk
mengetahui Dewa-Dewa dalam Catur Veda.
5. Untuk
mengetahui cara belajar Veda yang gampang dan tepat.
6. Untuk
mengetahui Tempat suci,Hari Suci dan Oang Suci Agama Hindu.
7. Untuk
mengetahui Lembaga unag mengayomi Agama Hindu.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Agama Hindu
Agama Hindu yang
kita kenal sekarang,lahir dan berkembang pertama kali di india, yaitu di daerah
Punjab (di lembah sungai sindhu) dan dalam perkembanganya sampai kedaerah
lembah sungai gangga dan yamuna. Nama Hindu berasal dari kata Sindhu yaitu nama
sungai di India barat daya datanglah bangsa Arya dari daratan Eropa timur Laut
ke India. Bangsa ini termasuk dalam ras bangsa Indo Germania. Bangsa Arya
adalah pengembara yang masuk ke India melalui celah Kaiber dan Kaiber pass.
Bangsa Arya masuk dan menetap di lembah sungai sindhu yang alamnya subur kedatangan
bangsa arya mendesak bangsa dravida yang lebih dulu berada di tempat itu, yang
pada perkembanganya selanjutnya mereka berbaur dan menurunkan bangsa india yang
sekarang, teori masuknya agama hindu dari india ke Indonesia yang dianggap
paling realistis adalah gabungan antara teori Brahmana,teori Dagang dan teori
Ksatria, dimana ketika para Brahmana
berlayar dari India menuju Indonesia mengajak brahmana untuk memimpin
upacara keagamaan untuk memohon keselamatan baik di perjalanan maupun di tempat
tujuan . sedangkan tugas para ksatrya adalah untuk mengawal kapal-kapal dari
para perampok.
2.1.1 Kerjaan Hindu di Indonesia
1.
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur
Kerajaan Kutai terletak
di Kalimantan Timur di hulu sungai Mahakam. Sekitar abad ke 4 Masehi Kutai di
perintah oleh seorang raja bernama Aswawarman yang merupakan Putra dari
Kudungga. Nama kerajaan tersebut di sesuaikan dengan daerah tempat di temukan
Prasasti yaitu Kutai. Di kutai di temukan 7 buah Prasasti yang berbentuk Yupa.
2.
Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat
Agama Hindu
sudah berkembang di pulau Jawa diperkirakan pada abad ke-5.
Hal ini dibuktikan oleh 7 buah prasasti,
lima diantaranya ditemukan di daerah Bogor,seperti Prasasti Ciaruteun, Kebon
kopi, Jambu, Pasir Awi dan Muara Ciaten.Satu Prasasti di temukan di Desa Tugu,
Tanjung Priok. Satu lagi di temukan di desa Lebak, Banten Selatan.
Prasasti-prasasti tersebut memakai Huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Dari
keterangan yang terdapat dalam Prasasti tersebut, Raja Purnawarman adalah Raja
Tarumanegara yang beragama Hindu. Hal ini di buktikan oleh Prasasti Ciaruteun
dekat Bogor yang menyebutkan Purnawarman adalah Raja Gagah berani dan lukisan
tapak kakinya di samakan dengan lukisan tapak kaki Dewa Wisnu .
3.
Kerajaan
Holing di Jawa Tengah
Sekitar
abad ke-6 di Jawa Tengah di temukan Kerajaan Holing dengan Rajanya
seorang wanita yang bernama Ratu Sima
sangat adil dan bijaksana. Untuk membuktikan bahwa di jawa tengah pada abad
ke-6 telah ada kerajaan Holing dengan di temukannya Prasasti Tukmas. Dalam
Prasasti itu di temukan symbol-simbol Agama Hindu seperti Tri Sula, Kendi,
Cakra, dan Bunga teratai.
4.
Kerajaan
Mataram Kuno di Jawa Tengah
Kerajaan Mataram Kuno
di perintah oleh keluarga Syailendra dan keluarga Sanjaya. Adapun Rajanya yang
terkenal adalah Sanjaya. Hal ini terbukti dengan ditemukannya Prasasti Canggal
ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Prasasti ini berangka tahun
732 Masehi dengan menyebutkan nama Raja yang memerintah adalah Sanjaya. Sebelum
Raja Sanjaya memerintah adalah Raja Sanna. Jadi Raja Sanjaya adalah kemenakan
dari Raja Sanna. Setelah Sanjaya memerintah diganti oleh penggantinya dan yang
terkenal adalah Rakai.
5.
Kerajaan
Hindu di Bali
Perkembangan Agama
Hindu di Jawa Timur berpindah ke Bali dengan di temukannya Prasasti Blanjong di
sanur dengan Candra Sangkala Khesarawahni-Murti (Murti artinya Bhatara Siwa,
Wahni artinya Api dan Khesara artinya Planet). Kesaksian lain adalah lontar di
bali yang menyatakan Empu Kurturan sebagai Pembaharu Agama Hindu di bali pada
abad ke-11 pada masa pemerintahan Udayana dan penerusnya. Sekte-sekte dapat
disatukan, pemujaan melalui Sad Khayangan dan Khayangan Jagat, Khayangan Tiga,
Sanggah Kemulan seperti apa yang termuat dalam lontar Usana Dewa , Konsepsi
pemujaan kepada dewa Tri Murti , dan memasyarakatkan desa Pakraman melalui
Khayangan Tiga. Sebagai Penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih
menjangan salwang di kebanyakan pura di Bali. Tempat moksa beliau didirikanlah
pura Silayukti di Padangbai (Karangasem).
2.2.
Pengertian Sruti
Kitab Sruti berasal
dari akar kata “srut” yang artinya mendengar. Kitab Sruti menunjukkan bahwa isi
kitab itu merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan dan diterima
secara langsung oleh para Maharsi melalui pendengarannya. Seorang Maharsi disebut
Mantradrasta yang artinya karena kesucian diri pribadinya mampu merekan sabda
Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Apauruseya, atau Tuhan Yang Maha Esa yang
bukan berwujud manusia dan di dalam susastra berbahasa di Jawa kuno. Kita
sering menemukan istilah Sang Hyang Sruti yang maksudnya tidak lain adalah
untuk memuliakan kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
(Titib. 2011: 40)
Manu didalam kitab
Manawadharmasastra mengemukakan bahwa Sruti itu, sesungguhnya tidak lain adalah
Veda. Menurut arti kata Sruti itu sendiri, kata itu berarti Wahyu atau
Revelation. Jadi yang dimaksud dengan Sruti adalah kitab Wahyu Tuhan Yang Maha
Esa. Apabila yang dimaksud Sruti itu adalah Veda, maka pada umumnya pengertian
Veda itu dibatasi pada pengertian Catur Veda yaitu empat macam Veda yang
masing-masingnya dikenal dengan nama Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan
Atharwa Veda. (Pudja. 1985: 39).
2.3 Isi Catur Veda
2.3.1
Rg
Veda
Rg Veda adalah kitab
suci Hindu yang tertua dan terbesar bila dibandingkan dengan kitab suci Veda
yang lain. Kitab suci ini adalah buku penuntun yang terbesar dan sangat ditaati
oleh umat Hindu, setiap umat tidak akan melupakan kebesaran dan keutamaan yang
terkandung dalam kitab suci ini. Bahasa dan irama sungguh sangat indah dan
penuh misteri. Rg Veda adalah mantra sebagai perwujudan eksistensi kebenaran
yang abadi dan kitab suci adalah yang terbesar dan sangat berharga dibandingkan
dengan susastra umat manusia di jagat raya ini. Pandita yang merapalkan
mantra-mantra Rg Veda disebut Hotr.
Para
rsi yang menerima wahyu Rg Veda adalah rsi agung yang memiliki kemampuan untuk
menangkap atau melihat yang gaib. Mereka adalah pendiri-pendiri peradaban dan
kebudayaan Hindu. Mantra-mantra yang diterima merupakan syair-syair keagamaan
yang sangat indah. Kepahlawanan dan berpikir positif merupakan kunsi pembuka untuk memahami ajaran
Veda
Di dalam kitab suci Rg Veda kita melihat perkembangan
pemikiran untuk mereka yang berpikiran sederhana menuju pemahaman monotheisme,
devata yang abstrak, pemujaan kepada dewa-dewa tanpa penyebutan nama-nama
menunjukkan bahwa kitab suci ini juga mengandung tedensi filosofis. Sebuah
catatan perlu diungkapkan adalah penekanan yang sangat terkenal pada kebenaran,
bahwa bahwa kebenaran itu Esa adanya dan tentang Kebenaran ini, orang-orang
bijak menyebut dengan nama-nama yang berbeda-beda yang secara gamblang
ditegaskan dan ditegaskan kembali dalam kitab-kitab Upanisad. Kitab Upanisad disusun dalam jangka waktu yang panjang,
upanisad yang tertua diantaranya Brhadaranyaka Upanisad dan Chandogya Upanisad,
diperkirakan disusun pada abad ke delapan sebelum masehi. Merujuk pada
Ashtadhyayi yang disusun oleh Maharsi Panini. Jumblah
kitab-kitab Upanisad secara tradisional diungkapkan didalam Muktika Upanisad
adalah 108 buah buku. Dari semua itu terbagi lagi menurut kelompok weda yaitu:
10 buah untuk Rg Veda; 16 buah untuk Sama Veda; 32 buah dan 19 buah untuk
kelompok Yajur Veda Hitam dan Yajur Veda Putih, sedangkan untuk kelompok
Atharvaveda berjumblah 31 buah buku. Diantara upanisad-upanisad itu ada 12 buah
yang terpenting yaitu: Isa, Kena, Katha, Aitereya, Taitiriya, Chandogya,
Brhadaranyaka, Kausitaki, Prasna, Mundaka, Mandukya, dan Swetaswatara Upanisad.
Sukta-sukta Rg Veda
juga menekankan berbagai cara yang sangat kaya untuk meningkatkan rasa bhakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bagaimana seorang Bhakta atau penyembah mendekatkan
dirinya melalui devata yang diekspresikan oleh para Maharsi sedemikian indah.
Mungkin terindah dibandingkan dengan lagu-lagu pujaan sesudah kitab suci Veda.
Para rsi Rg Veda mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak saja
diyakini sebagai sahabat yang akrab, tetapi juag sebagai seorang anak kepada
bapaknya, seorang pelayan kepada majikannya bahkan sebagai kekasih terhadap
yang dikasihinya.
Terdapat
1.208 sukta di dalam Rg Veda dengan jumlah mantra sebanyak 10.589 yang disusun
dalam dua susunan atau klasifikasi. Pembagian itu adalah pembagian berdasarkan
Khanda (porsi) yang lebih populer dengan istilah astaka atau pembagian mantram
atas dasar delapan buah mantram yang kemudian dibagi lagi menjadi delapan
adhyaya. Pembagian lainnya yang lebih populer adalah seluruh Rg Veda dibagi
menjadi 10 mandala atau buku (lingkaran) dan kemudian dibagi lagi menjadi
anuvaka (sub bagian).
Pembagian
selanjutnya adalah pembagian berdasarkan sukta atau himne yang dibagi lagi ke
dalam varga (yang seluruhnya terdiri dari 2.424 varga atau paragrap) yang
jumlahnya setiap varga sekitar 5 mantram atau bait (syair). Pembagian atas
dasar varga ini adalah umum untuk dua klasifikasi besar diatas. Terdapat
variasi yang sangat luas dari jumlah mantram dalam setiap Sukta atau himne,
sebagai contoh adalah Mandala I Sukta 99 yang hanya terdiri dari satu mantram
(yang diringkas sebagai berikut: I.99.1). Sukta 97, Mandala IX merupakan yang
terpanjang (terdiri dari 58 mantram). Dissul sukta 164 dari Mandala I (terdiri
dari 52 mantram). Sukta 16 Mandala VI
terdiri dari 48 mantram (demikian pula Mandala VII, Sukta 6 jumlahnya sama 48
mantram) dan Mandala X, Sukta 95 terdiri dari 47 mantram .
Secara
tradisional disebutkan terdapat beberapa resensi tentang Rg Veda namun yang
kita warisi kini hanya satu resensi yakni resensi Sakala dan inilah kiranya
yang paling lengkap dan bila kita membicarakan Rg Veda yang dimaksud adalah Rg
Veda resensi Sakala ini, tidak ada yang lain. Di samping itu terdapat juga
resensi lainnya yang disebut Balakhilya (terdiri dari 11 Sukta, biasanya
disisipkan pada Mandala ke VIII dari resensi Sakala. Di samping itu terdapat
juga resensi Baskala yang terdiri dari 36 Sukta pada Rg Veda edisi Aundh yang
disebut juga Khilasukta yang dipandang Sukta semu atau tidak asli yang
disisipkan pada resensi Sakala. Demikian antara lain penjelasan tentang Rg
Veda.
(Titib. 2011: 91)
2.3.2
Yajur
Veda
Yajur Veda pada umumnya
berbentuk prosa dan dirapalkan oleh Adhvaryu, pandita yang akhli atau
membidangi Yajurveda yang akan menjelaskan sebuah upacara korban dengan
mengambil mantram-mantram Rgveda. Kata Yajus berasal dari akar kata “yaj” yang
artinya pemujaan atau pengorbanan. Kata Yajna berasal dari akar kata ini.
Seperti halnya kata Rg (Rk) yang berarti ‘lagu pemujaan’, demikiannlah kata
yajus berkaitan dengan upacara ritual atau prosedur dalam pelaksanaan Yajna.
Pernyataan ini sesungguhnya sesuai dengan maksud dari mantram Yajur Veda ini
yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara pemujaan atau yajna. Yajurveda juga
merujuk kepada mantra-mantra Rgveda.
Dapat pula ditambahkan
bahwa Yajurveda menekankan detail prosedur yajna yang berbeda-beda.Seluruh
mantra Yajurveda terdiri dari 1975 mantram yang terbesar ke dalam 40 bab yang
disebut Adhyaya. Adhyaya yang terbesar adalah adhyaya XII yang terdiri dari 117
mantram, diikuti oleh adhyaya XVII (99 manram), XXIV (98 mantram), XXXIII (97
mantram), XIX (95 mantram), XX (90 mantram), XI (83 mantram), yang terpendek
adalah adhyaya XXXIX terdiri dari 13 mantram diikuti oleh adhyaya XXXII (16
mantram) dan XL yang terdiri dari 17 mantram.Yajurveda juga dikenal dengan nama
Vajasaneyi Madhyandina Sukla Yajurveda atau Yajurveda Putih sedang yang lain
disebut Krsna Yajurveda yang karakternya dan lebih dekat dengan Kitab Brahmana
dibandingkan dengan Sruti Samhita. Terdapat berbagai macam resensi tentang
Sukla Yajurveda, antara lain: Kathaka, Kapisthala, Katha, dan Maitrayani menunjukkan
kepopuleran Yajurveda ini di India dengan sebuah variasi teks yang berbeda dan
penggunaannya dalam upacara-upacara agama. (Titib. 2011: 93)
2.3.3.
Sama Veda
Berkenaan dengan kata
samaveda perlu diingat selalu kata ini berasal dari saman yang artinya ‘melodi’
(irama) dan samaveda tidak lain adalah himpunan mantra-mantra yang diberi tanda
nada untuk berbagi irama.dalam teks tertentu meliputi aturan tentang bagaimana
memainkan seni music. Samaveda disebut juga nyanyian weda suci memiliki posisi
ketiga didalam kitab-kitab veda tapi dalam praktek upacara sangat menentukan
setelah kitab reg veda. Samhita ini terdiri dari beberapa mantram yang umumnya
dilakukan oleh pendeta-pendeta udgatr pada upacara-upacara yang penting
terutama dalam persembahyangan juice,tanaman soma ,minyak ghee yang dicampur
dengan susu dan campuran biji-bijian , sebagai persembahan yang dituangkan pada
upacara dan mantra-mantasamaveda dilafalkan sebagai lagu kebaktian,samaveda
muncul sebagai himpunanan mantram pemujaan mantram pemujaan dan mantram mantram
yang dilampirkan yang asalnya terutama dari
kitab reg veda, diubah atau disusun kembali tanpa refernsi pada asalnya
untuk disesuaikan.dengan upacara-upacara yang digunakan .
Terdapat 3 resensi
samaveda yaitu kauthuma,ranayania,dan jaiminia . jaiminia merupakan yang
terpenting, kauthuma terdiri dari 2 bagian ,bagian mantram dan brahmana . kitab
mantra terdiri dari 2 sub bagian yaitu yaitu purvarcika dan uttararcika .
seluruh kitab samaveda terdiri dari 1.875 mantram yang hanya 75 buah dari
padanya tidak berasal dari reg veda dan sisanya 1.800 adalah diambil dan merupakan pengulangan dari mantra-mantra
reg veda.(Titib. 2011: 94)
2.3.4.
Atharwa Veda
Kata atharwa
berarti “seorang purohita” yakni nama seorang Rsi. Mantra-mantra seorang veda
di peroleh oleh maharsi bernama Atharvan. Kitab veda ini terdiri dari berbagai
macam mantram menunjukan untuk mengusir kejahatan dan kehidupan yang sulit. Dan
juga untuk menghancurkan musuh-musuh , mantram-mantram Atharva veda berbuntuk
prosa di samping juga berbentuk puisi. Di dalam kitab atharva veda kita
menemukan mantram-mantram Devata. Yang tidak di jumpai dalam kitab suci weda
yang lain.mantram-mantram atharva veda terdiri dari mantram untuk memperoleh
pengampunan dosa dan karunia dari dewa-dewa dan memohon ampun dan upacara untuk
melenyapkan musuh-musuh , mantram pemujaan untuk memohon kemakmuran dibidang
pertanian, perdagangan dan aktivitas lainnya yang juga untuk mengembangkan
cinta kasih ,keharmonisan dan saling pengertian antara suami dan istri,ayah
dengan anak-anaknya,guru dengan siswanya.
Aslinya terdapat
Sembilan macam resensi tentang atharva veda yang kini masih tersisa hanyalah
resensi dari sakha paippalada dan saunaka, Sembilan resensi itu adalah paipalada,danta,pradanta,snata,snauta,brahmadavala,saunaka,devadarsani
dan caranavidya. Atharva Atharva Veda
terdiri dari 5.977 mantra berbentuk puisi tersebar dalam 20 buku (kanda).
tiap kanda dibagi kedalam lagu pujaan
(himne) dan himne di bagi menjadi raca atau mantra/syair. (Titib. 2011 : 95)
2.4.
Dewa-Dewa dalam Veda
Di dalam Veda Tuhan
Yang Maha Esa dan para Deva disebut deva atau devata. Kata ini berarti cahaya,
berkilauan, sinar gemerlapan. Svami Dayananda Sarasvati membuka pengertian yang
lebih luas tentang deva atau devata yang beraneka ragam (pluralistis), yang
telah diinterpretasikan oleh sarjana-sarjana Eropa, yang sesungguhnya memancar
dari Tuhan Yang Maha Esa (Titib, 2011:313). Beraneka dewa atau devata itu
adalah untuk memudahkan membayangkan-Nya seperti yang secara gamblang
dijelaskan dalam mantram-mantram Veda.
Dalam teologi Hindu kita
jumpai demikian banyak jumlah atau nama dewa-dewa itu. Kitab suci Rgveda
seperti pula halnya Atharvaveda menyebutkan jumblah dewa-dewa itu sebanyak 33
dewa. Berikut adalah kutipan mantra yang menjelaskan tentang 33 deva tersebut:
“a
nasatya tribhirekadasaimha devebhir yatam
madhupeyam
asvina, prayustaristam ni rapam
si
mrksatam sedhatam dveso bhavatam sacabhuva”.
(Rgveda I. 34
.11)
Artinya:
“Semogalah Engkau tiga kali sebelas (33)
tidak pernah jatuh dari kesucian, sumber
kebenaran, yang memimpin kami menuju
jalan yang untuk memperoleh kebajikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa merakhmati
persembahan kami, memperpanjang hidup kami, menghapuskan kekurangan kami,
melenyapkan sifat-sifat jahat kami dan semoga semuanya itu tidak membelenggu
kami”.
“Srustivano
hi dasuse deva agne vicetatasah,
tan
rohidasva girvanas trayastrimsatama vaha”.
(Rgveda I. 45.
2)
Artinya:
“Ya Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah
guru agung, penuh kebijaksanaan, menganugrahkan karunia kepada mereka yang
mempersembahkan karya-karyanya. Ya Tuhan yang penuh cahaya gemerlapan,
semogalah para pencari pengetahuan rohani dapat mengetahui rahasia dari 33 dewa
(yang merupakan tenaga kosmos)”.
Di dalam kitab suci Yajurveda, dijumpai
juga sebuah mantra yang menjelsakan tentang 33 deva sebagai berikut:
“
Trayastrimsatastuvata bhutanyasamyan
Prajapatih
paramestayadhipatirasit”.
(Yajurveda
XIV. 31)
Artinya:
“Pemujaan oleh 33 deva dan kedamaian
ditegakkan Tuhan Yang Maha Esa, Yang adalah maharaja dari senua makhluk, ia
adalah penguasa dan pengendalinya”.
Selanjutnya, di dalam kitab suci
Atharvaveda juga menjelaskan tentang 33 deva, sebagai berikut:
“yasya
trayastrimsad deva ange sarve samahitah,
Skambham
tam bruhi katamah svideva sah”.
(
Atharvaveda X. 7. 13)
Artinya:
“Siapakah yang demikian banyak itu,
ceritakan kepadaku, tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa yang meresapi
segalanya, yang pada diri-Nya dikandung seluruh 33 dewa (sebagai kekuatan
alam)”.
Seluruh
dewa-dewa itu terdiri dari 8 Vasu (Astavasu), 11 Rudra (Ekadasarudra), 12
Aditya (Dvadasaditya), serta Indra dan Prajapati. Yang termasuk dewa-dewa
Astavasu (8 Vasu) menurut Visnu purana 15 dan Amsa purana 1 adalah:
1.
Anala/Agni (dewa api)
2.
Dhava/Prthivi (dewi bumi)
3.
Anila/Vayu (dewa angin)
4.
Prabhasa/Dyaus (dewa langit)
5.
Pratyusa/Surya (dewa matahari)
6.
Aha/Savitr (dewa antariksa)
7.
Candra/Soma (dewi bulan)
8.
Druva/Druha (dewa konstelasi planet)
Yang termasuk dewa-dewa
Ekadasarudra (11 rudra) adalah: 1. Aja Ekapat; 2. Ahirbudhnya; 3. Virupaksa; 4.
Suresvara; 5. Jayanta; 6. Bahurupa; 7. Aparijita; 8. Stivitra; 9. Tryambaka;
10. Vaivasvata; 11. Hara.
Ekadasarudra di atas
dihubungkan dengan prana dan atma dalam tubuh manusia dan dalam ajaran Tantra
11 rudra itu dihubungkan (disimbolisasikan) dengan 11 aksara, yaitu: DA, DHA,
NA, TA, THA, DA, DHA, NA, PA, PHA dan BA. Rudra sering diidentikkan dengan
aspek krodha dari Siva sebagai penguasa 11 penjuru di alam raya.
Yang termasuk deva-deva
Dvadasaditya adalah terdiri dari enam pasang deva, yaitu: Mitra-Varuna, Aryaman-Daksa,
Bhaga-Amsa, Tvastr-Savitr, Pusan-Sukra, dan Vivasvat-Visnu (Rgveda XI. 27. 1). Keenam pasang dewa-dewa yang dimaksud merupakan
wujud dewa yang transendent dan immanent. Dewa-dewa Dvadasaditya menurut kitab
suci Rgveda X .63.2, I.72.9, VII. 10.3, dan Atharvaveda XIII.1.38 menjelaskan
sebagai berikut:
a.
Transendent: 1. Mitra (sahabat); 2. Aryaman
(mengalahkan musuh); 3. Bhaga (pemurah); 4. Tvastr (pembentuk); 5. Pusan
(energi); 6.Vivasvat (gemerlapan).
b.
Immanent : 1. Varuna (langit); 2. Daksa
(ahli); 3. Amsa (yang bebas); 4. Savitr (pelebur); 5. Sukra (kekuatan); 6.
Visnu (yang meresapi)
Sebagai telah diuraikan
di atas , teologi Veda adalah Monotheisme Transendent yaitu Tuhan digambarkan
dalam wujud Personal God (Tuhan yang berpribadi), dan Monotheisme Immanent
yaitu Tuhan digambarkan Impersonal God (tidak berpribadi), tidak ada
wujud/bandingan apapun untuk menggambarkannya.
Penggambaran dalam
wujud tertentu itu adalah untuk memudahkan membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat
yang ditunjukkan-Nya. Penggambaran Dewa dalam Veda digambarkan sebagai berikut:
1.
Dewa Dyaus
Adalah
dewa langit. Ia merupakan Bapak dari dewa dan merupakan dewa tertua dari
seluruh deva. Di dalam mantra dilambangkan sebagai dewa Akasa dan dikenal
paling berkuasa atas Sorga. Nama Dyaus dalam Rgveda terbaca tidak kurang dari
50 kali. Di dalam berbagai mantra Rgveda , ia disebut juga sebagai pencipta
semua makhluk.
2.
Dewi Prthivi
Adalah
dewi bumi, digambarkan sebagai seorang wanita yang sangat ramah dan merupakan
dambaan setiap orang. Prtivi artinya yang mempunyai permukaan lebar, yang
dimaksud adalah Bumi.
3.
Dewi Aditi dan Dewa-Dewa Aditya
Aditi
selalu disebut sebagai seorang devi, ibu para deva. Ia disebut devi yang
memberikan kebahagiaan. Aditya berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan
sebagai deva-deva yang merupakan satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai
deva yang mempunyai kekuasaan yang paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum
yang mengatur peredaran alam semesta. Ia mengatur tata-surya dan mengatur hukum
dunia.
4.
Dewa Agni
Agni
sering disebut dalam Veda, disamping Indra dan Surya. Fungsi Agni sebagai
pendeta, sebagai duta, sebagai pemberi berkah, sebagai ahli Veda, penjaga
rumah, sebagai saksi sehingga Agni dimuliakan. Ia juga dikenal sebagai pengusir
roh jahat, pengantar yajna. Aditya juga dipergunakan sebagai pengganti nama
Surya matahari.
5.
Dewa Surya
Adalah
dewa matahari, ia dipuja sebagai wajah agni di angkasa (Rgveda X. 7. 3). Ia
juga disebut Divakara (Atharvaveda IV. 10. 5). Dewa Surya adalah putra Aditi
dengan Dyaus, Devi Usas (fajar) adalah saudaranya.
6.
Dewa Varuna
Varuna
sering diucapkan/ditulis Baruna dan selalu dihubungkan dengan laut. Nama Varuna
sering dikaitkan dengan dewa Indra dan Mitra. Varuna berasal dari kata “Var” (
menutup/membentang) yang berarti melindungi dari segala penjuru. Dari kata ini
kemudian dihungkan dengan laut. Varuna dianggap sebagai deva yang mengawasi
alam semesta.
7.
Dewa Asvin
Asvin
adalah dewa kembar. Namanya disebut-sebut dalam Veda lebih dari 400 kali.
Mereka dianggap sebagai deva yang paling muda, tampan dan cemerlang, dan
keretanya diibaratkan sebagai matahari. Dalam Rgveda X. 61 dinyatakan bahwa
Asvin adalah putra Surya. Dalam Mahabharata mereka menjelma menjadi Nakula dan
Sahadeva.
8.
Dewi Usas
Usas
adalah dewi fajar, disebut lebih dari 300 kali dalam Veda. Sebagai seorang devi
ia digambarkan memiliki sifat yang manja, tubuhnya langsing, melenyapkan
kegelapan, membangunkan orang dari tidur, mengusir mimpi dan membangunkan orang
untuk sembahyang pagi. Ia dianggap bersaudara dengan Aditya. Menurut akar
katanya, Usas berasal dari kata “Vas” yang berarti bersinar dan dianggap personifikasi
aura matahari di waktu terbit.
9.
Dewa Indra
Seperti
deva Agni dan Vayu, deva Indra sangat dominan disebut dalam Veda. Kata Indra
berasal dari kata “Ind” dan “dri”, yang artinya ‘yang member makan’. Menurut
Nirukta kata Ind berarti penuh tenaga. Indra pada mulanya adalah deva hujan
yang mengalahkan raksasa Vrta, senjatanya adalah Bajra (petir).
10.
Dewa Vayu
Adalah
dewa angin, sering dihubungkan dengan Indra sebagai penguasa atmosfir. Dalam
Rgveda, Vayu lebih popular dengan nama Vata, yang memberikan kesejukan,
kesehatan, dan kesegaran jasmani.
11.
Dewa Soma
Soma
tidak hanya sebagai dewa, tetapi juga dikenal sebagai jenis tanaman. Sangat
sering disebut dalam Veda. Soma merupakan minuman para deva, diidentikan
sebagai Indu yang berarti tetesan yang cemerlang.
12.
Deva Visvakarma
Deva
Visvakarma di dalam Veda lebih popular disebut Tvastr yang artinya pembentuk
atau pembuat. Kata Visvakarma berarti mengerjakan semua pekerjaan. Dalam Veda
ia disebut sebagai pencipta dan pemelihara, dan pada zaman Purana fungsinya
diambil alih oleh Dewa Brahma dan Visnu.
13.
Dewa Yama
Adalah
hakim agung raja alam pitra (akhirat). Yama lahir kembar dampit, adiknya
bernama Yami. Menurut Max Muller, Vivasvat adalah penguasa langit, Saranya lambang
fajar, Yama lambing siang hari dan Yami lambang malam hari. Yama adalah dewa
yang kejan terhadap orang jahat dan sebagai penguasa alam baka.
14.
Dewa Visnu
Dewa
Visnu pada zaman Brahmana dan Purana menduduki tempat yang penting sedangkan
pada zaman Veda kurang berperan. Visnu dalam Veda adalah nama lain dari Surya.
Visnu adalah deva yang berkuasa atas orde dank arena itu, ia disebut sebagai
pemelihara. Secara lahiriah ia ditafsirkan pula seperti matahari (Surya) dan
dikenal pula sebagai Suparna atau Garutman. di dalam Purana Suparna atau
Garutman adalah wahana Visnu dan senjatanya adalah Cakra lambing matahari,
menunjukkan karakter Surya.
15.
Dewa Rudra
Deva
Rudra tidak banyak disebut dalam Rgveda, tetapi dalm berbagai kitab sesudah
Rgveda, Deva Rudra mulai semakin banyak dipuja dan bahkan diidentikkan dengan
Deva Siva (Siva Rudra). Kitab Yajurveda dan Atharvaveda lebih menyebutkan Dewa
Rudra. Ia merupakan dewa yang sangat pengasih seperti seorang ayah yang
menyayangi putranya. Ia juga merupakan deva yang memberikan kesembuhan kepada
setiap makhluk dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
16.
Dewi Sarasvati
Kata Sarasvati
berasal dari urat kata “sr” yang artinya mengalir dan di dalam Veda Sarasvati
adalah nama dewi sungai dan dewi ucap (pengetahuan dan kebijaksanaan). Dalam
kitab Purana, dewi Sarasvati disamping sebagai ilmu pengetahuan dan dewi sungai
adalah juga sakti dewa Brahma. Ia digambarkan sebagai wanita yang berkulit
putih bersih, perilakunya lemah lembut.(Titib,2011:326)
2.5.
Cara Belajar Veda yang Gampang dan Tepat
Seiring perkembangan
jaman di era modern sperti sekrang ini umat Hindu lebih cenderung terpengaruh
mempelajari budaya asing yang bukann selayaknya ditiru, bahkan sampai melupakan
jati dirinya yaitu sebagai umat hindu yang sudah seharusnya mempelajari dan
mengetahui isi dari Veda agar dapat di amalkan pada kehidupan. Salah satu penyebabnya juga dikarenakan
kurangnya minat umat Hindu untuk membaca isi dari veda , karena dengan cara
membaca cenderung membosankan dan membuat jenuh, maka agar dapat mempelajari
veda dengan menyenangkan dapat dilakukan dengan memanfaat tekhnologi seperti
televisi kearah yang positif, dimana televise yang biasanya menyajikan tontonan
seperti film,sinetron,gossip,dll, kini dimanfaatkan dengan menayangkan ajaran
Veda dalam praktek yang dijabarkan dalam kisah-kisah itihasa dan purana yang
telah diubah menjadi film seperti film Mahabharata, pada jaman dahulu penjabaran
ajaran veda diubah dalakm bentuk wayang,cara menyampaikan ajaran agama dalam
bentuk cerita jauh lebih efektif daripada
mempelajari agama melalu ayat-ayat kitab suci yang sulit
dipahami,terutama untuk kalangan masyarakat awam,dengan hadirnya film seperti
Mahabharata kita dapat belajar ajaran Hindu melalui kisah-kisah yang penuh
makna,tanpa disadari dengan menonton dan mengikuti jalan ceritanya kita telah
mempelajari veda dengan menyenangkan tanpa membaca kitab suci ataupun buku yang
terkesan membosankan. Contoh ajaran veda dalam cerita Mahabharata yaitu dalam
ceritanya kita dapat belajar ajaran satya semaya (setia kepada janji) dari Rsi
Bhisma, belajar ajaran satya mitra(setia pada teman) dari karna, belajar kepatuhan terhadap ibu
dari panca pandawa,belajar hokum atau dharma atau kebijakan yang benar dari
yudhistira dan shri Krhisna,mengetahui sifat keangkuhan dari duryodana yang
harus dihindari,mengetahui kepolitikan dari sengkuni yang tidak patut
ditiru,dll
Melalui film, jauh lebih mudah
memahami alur-alur cerita sehingga Mudah diingat,
dan sering menjadi renungan dalam menjalani
kehidupan maka akan banyak Penikmat kisah (penonton) Mahabharata, dapat memetik
nilai-nilai kehidupan dalam bentuk pemahaman baru yang dapat menumbuhkan
kesadaran untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Veda Menurut keterangan kitab
Mahabharata. Kisah-kisah yang terdapat didalamnya merupakan kisah yang
terberkati, kisah yang bukan sekedar cerita. Para bijak menjelaskan bahwa
barang siapa yang mendengarkan, membaca, merenungkan kisah yang diceritakan
itu, maka ia dapat memperoleh kesejahteraan,kedamaian, dan panjang umur. Bahkan
dijanjikan surga dan dosanya akan dihapuskan jika seseorang mau mempelajarinya
secara mendalam dan menyampaikannya kepada orang lain. Dalam kontek kekinian,
dengan menonton film rohani seperti Mahabharata, seseorang dapat menemukan arti
hidup, menemukan kebijaksanaan, dan tentunya tertarik untuk menerapkannya dalam
kehidupan.
2.6 .
Tempat suci, Hari suci dan Orang suci Agama Hindu
2.6.1. Tempat Suci Agama Hindu
Setiap agama yang ada di muka bumi ini memiliki tempat suci.
Tempat suci bagi penganut agama yang bersangkutan merupakan sarana atau salah
satu alat upakara untuk mengadakan kontak atau hubungan kehadapan Tuhan yang
dipujanya. Di samping itu, keberadaan tempat suci untuk suatu agama juga
merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan pengakuan dari Negara.
Tempat suci umat Hindu disebut dengan nama Pura. Kata pura berasal dari bahasa
Sansekerta pur yang artinya kota, benteng atau tempat yang di kelilingi tembok.
Berdasarkan arti kata tersebut maka Pura dapat diartikan sebagai tempat yang
dikelilingi oleh tembok atau penyengker yang khusus sebagai tempat yang suci.
Bentengan tembok itu fungsinya tiada lain adalah sebagai pemisah antara areal
yang disucikan dan yang biasa. Meskipun demikian areal yang ada disekitar pura
tersebut tetap mesti dijaga kebersihan, keindahan dan ketenangannya demi
menjaga kesucian pura itu sendiri. Selain itu tembok penyengker juga berfungsi
sebagai pelindung benda-benda yang ada di dalamnya agar tidak mudah terjamah
dan tercemari kesuciannya. Tempat suci umat Hindu selain disebut dengan nama
pura juga disebut dengan nama Kahyangan atau Parhyangan dan Sanggah atau
Merajan. Pura sebagai tempat suci umat Hindu diperkirakan telah digunakan sejak
zaman Dalem (sebutan untuk raja-raja Bali keturunan Kresna Kepakisan) berkuasa
di Bali. Sebelum dikenal istilah pura, tempat suci sebagai tempat pemujaan
Tuhan oleh umat Hindu di Indonesia, Bali, khususnya, dikenal dengan istilah
Kahyangan atau Hyang. Pada zaman Bali Kuno, istilah yang digunakan oleh umat
Hindu untuk menamakan tempat suci adalah Ulon. Ulon berarti tempat suci yang
digunakan untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan. Hal ini termuat dan
dijelaskan dalam Prasasti Sukawana AI (Tahun 882 M). Demikian pula dalam
Prasasti Pura Kehen disebutkan istilah Hyang. Berdasarkan Lontar Usana Dewa,
Mpu Kuturanlah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa,
seperti pemujaan dewa di Jawa Timur.
Mpu Kuturan adalah tokoh agama Hindu yang bersal dari Jawa.
Beliau datang ke Bali pada masa pemerintahan Raja Marakata dan Anak Wungsu,
putra Raja Udayana. Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali banyak memberikan
perubahan-perubahan pada masyarakat Bali terutama tentang tata cara upacara
keagamaan. Beliau mengajarkan tata cara membuat Sad Kahyangan Jagat, Kahyangan
Catur Lokapala, Kahyangan Rwabhineda, Pelinggih, Meru, Gedong, dan Kahyangan
Tiga di setiap desa adat serta memperbesar Pura Besakih. Selain mengajarkan
membuat bangunan secara fisik, beliau juga mengajarkan membuat bangunan secara
spiritual, seperti berbagai jenis upacara, pedagingan pelinggih, dan sebagainya
seperti dijelaskan dalam lontar Dewa Tattwa. Istana raja-raja di Bali sebelum
diperintah oleh Dalem disebut dengan istilah Kedaton atau Keraton. Setelah
dinasti Dalem memerintah di Bali, istana raja-raja disebut dengan istilah
Pura.Hal ini disebabkan karena apa yang berlaku di Majapahit dilaksanakan juga
di Bali sesuai dengan bunyi kitab Negarakertagama 73.3 menyebutkan bahwa apa
yang berlaku di Majapahit demikian pula berlaku di Bali oleh dinasti Dalem.
Keraton Dalem terletak di Samprangan disebut Lingarsa Pura. Keraton Dalem yang
terletak di Gelgel disebut Suweca Pura dan Keraton Dalem yang terletak di
Klungkung disebut Semara Pura. Setelah dinasti Dalem berkeraton di Klungkung
atau Semara Pura, istilah pura mulai dipergunakan untuk menyebutkan nama tempat
suci pemujaan, sedangkan istana raja disebut dengan nama Puri. Demikianlah
istilah pura menjadi istilah untuk menyebutkan nama tempat suci bagi umat Hindu
di Indonesia sampai sekarang.
Syarat-Syarat
Pembuatan Tempat Suci
Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan kawasan untuk
membangun tempat suci. Dala tradisi di Bali termuat dalam beberapa lontar
menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang
“gingsih” dan tidak berbau busuk. Tempat-tempat yang ideal untuk membangun
tempat suci adalah seperti disebutkan pada kutipan-kutipan dari Bhavisya Purana
dan Brhat Samhita yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning
sagara-giri” atau “sagara-giri adumukha”, tempatnya sangat indah di samping
vibrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut. menurut keyakinan
umat Hindu, letak tempat suci ditempatkan di hulu, yaitu berpedoman kepada matahari
terbit atau letak gunung. Matahari terbit dan letak gunung diyakini sebagai
arah yang suci karena kedua sumber ala mini diciptakan oleh Tuhan sebagai
sumber kehidupan semua mahluk hidup. Di Bali khususnya, arah hulu itu terletak
pada arah timur dan utara atau disudut timur laut. Di beberapa tempat tertentu,
ada pula yang mempergunakan arah hulu itu menuju jalan atau kearah
sungai.Diawali dengan mengadakan pertemuan atau penyatuan sabda, vayu, dan
idep, dilanjutkan dengan penentuan hari baik (dewasa) dan penentuan letak atau
tempat. Selanjutnya, dilakukan pembangunan tempat suci tersebut dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Ngeruwak karang, yaitu ngerubah
status tanah
b. Nyukat karang, yaitu mengukur secara
pasti.
c. Nasarin, yaitu meletakkan dasar
bangunan.
d. Memakuh, Malaspas, yaitu mengadakan
upacara peresmian.
e. Ngurip-ngurip, yaitu upacara
menghidupkan bangunan secara lahir dan bathin atau spiritual.
Berdasarkan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu telah ditetapkan pemilihan tempat dan penentuan denah
untuk membangun tempat suci sebagai berikut :
a. Membangun Pemerajan / Sanggah, letaknya
di hulu pekarangan rumah.
b. Pura Desa sebaiknya terletak
ditengah-tengah desa pada tempat yang dipandang suci oleh Krama Desa
bersangkutan.
c. Pura Puseh sama letaknya dengan Pura
Desa.
d. Pura Desa dan Pura Puseh boleh digabungkan
dalam satu areal.
e. Pura Dalem sebaiknya terletak di
hilir (teben) desa. Palinggih Prajapatti letaknya di hulu setra.
Struktur
dan Hakikat Tempat Suci
Sang Hyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) berada dimana-mana, tidak ada tempat yang
tidak dipenuhi o leh-Nya. Dalam keadaan demikian, Dia disebut “wyapi-wyapaka
nirwikara”. Tuhan Yang Maha Esa ada dimana-mana dan menjiwai alam semesta
beserta isinya. Tuhan yang menyebabkan bumi berputar, matahari menguluarkan
panas dan bersinar, tanah menghidupkan tumbuh-tumbuhan. Manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan mengalami lahir, hidup, dan mati. Tuhan yang menciptakan dan
menjiwai alam semesta beserta isinya. Wujud nyata dari Tuhan adalah alam
semesta ini, sedangkan di alam kosong Beliau disebut Sunya. Alam semesta adalah
sthana atau tempatnya Tuhan Yang Maha Esa. Alam semesta ini sangat luas atau
abstrak sehingga sulit diketahui secara utuh oleh manusia. Oleh karena itu,
umat Hindu membuat simbol yang lebih kongkrit dari alam semesta sebagai tempat
dari Tuhan. Melalui simbol-simbol yang tersusun itulah, umat Hindu melaksanakan
pemujaan kepada Tuhan. Dalam Kakawin Dharma Sunya disebutkan sebagai berikut :
“Bhatara Siva sira suwung, sifat ipun ikang kasar a wujud donya,
kaanggap wangun ndi, yen karingkes dados ndi Himalaya, yen
karingkes dados meru ndi kadi ning tanah Bali, yen karingkes malih dados titiang.”
kaanggap wangun ndi, yen karingkes dados ndi Himalaya, yen
karingkes dados meru ndi kadi ning tanah Bali, yen karingkes malih dados titiang.”
Artinya:
Bhatara Siva amat gaib, sifat nyatanya berbentuk dunia dianggap bangunan itu, kalau diringkas menjadi gunung di Himalaya, kalau diringkas lagi menjadi Meru, seperti di Bali, Meru diringkas lagi menjadi diri kita.Demikianlah, Kakawin Dharma Sunya melukiskan atau menggambarkan alam semesta beserta isinya yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pada mulanya, gunung dianggap seperti stana atau linggih dari Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal gunung sebagai simbol alam bawah (bhur loka), badan gunung sebagai alam tengah (bhwah loka) dan puncak gunung dipandang sebagai alam atas (swah loka). Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Kuno di Indonesia, gunung dipandang sebagai alam dewa-dewa atau tempat Tuhan Yang Maha Esa. Struktur bangunan tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, bhur loka, bhwah loka dan swah loka. Di Bali diwujudkan dengan penataan bangunan tempat suci dalam sebuah areal dibagi menjadi tiga bagian wilayah yang disebut dengan Tri Mandala yaitu :
Bhatara Siva amat gaib, sifat nyatanya berbentuk dunia dianggap bangunan itu, kalau diringkas menjadi gunung di Himalaya, kalau diringkas lagi menjadi Meru, seperti di Bali, Meru diringkas lagi menjadi diri kita.Demikianlah, Kakawin Dharma Sunya melukiskan atau menggambarkan alam semesta beserta isinya yang dijiwai oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pada mulanya, gunung dianggap seperti stana atau linggih dari Tuhan Yang Maha Esa. Pangkal gunung sebagai simbol alam bawah (bhur loka), badan gunung sebagai alam tengah (bhwah loka) dan puncak gunung dipandang sebagai alam atas (swah loka). Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Kuno di Indonesia, gunung dipandang sebagai alam dewa-dewa atau tempat Tuhan Yang Maha Esa. Struktur bangunan tempat suci pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian, bhur loka, bhwah loka dan swah loka. Di Bali diwujudkan dengan penataan bangunan tempat suci dalam sebuah areal dibagi menjadi tiga bagian wilayah yang disebut dengan Tri Mandala yaitu :
a.
Nistha
Mandala atau jaba sisi merupakan mandala yang tidak begitu suci karena areal
ini merupakan tempat melakukan kegiatan manusia seperti pada umumnya selama
kegiatan tersebut tidak melanggar hukum. Pada jaba sisi ini biasanya sebagai
tempat parkir, hiburan, tempat berdagang, MCK dsebagainya.
b.
Madia
Mandala atau jaba tengah adalah areal yang bersifat setengah suci sebagai
tempat melakukan kegiatan untuk mempersiapkan perlengkapan bagi pelaksanaan
upacara seperti mejejahitan ataupun kegiatan yang lain. Pada Jaba Tengah ini
biasanya terdapat bangunan seperti Bale Pesandekan, wantilan ataupun bale tempat
gamelan. Akan tetapi meski status jaba tengah setengah suci, tetap mesti dijaga
kesucuiannya dengan mengenakan pakian adat kepura bagi setiap orang yang memasukinya
dan Mebanyuawang.
c.
Utama
Mandala atau jeroan adalah areal yang paling suci. Setiap orang yang memasuki
mandala ini harus memenuhi persyaratan kesucian seperti berpakaian yang
semestinya, tidak dalam keadaan cuntaka dan mendapat Banyuawang sebelum masuk
ke jeroan. Hal seperti ini penting untuk diperhatikan demi menjaga kesucian
Pura itu sendiri.
Seiring dengan kemajuan perdaban umat manusia, Lingga dipandang sebagai simbol alam semesta sekaligus tempat bersemayamnya Tuhan Yang Maha Esa. Bagian atas Lingga disebut Sivabhaga atau simbol alam atas, bagian tengah disebut Visnubhaga yang berbentuk segi delapan atau merupakan simbol alam tengah, dan bagian bawah berbentuk sedi empat disebut dengan Brahmabhaga atau simbol alam bawah. Keseluruhan bagian Lingga tersebut adalah lambang Purusa dan alasnya berbentuk segi empat disebut Yoni sebagai lambang Predana. Perkembangan selanjutnya adalah muncul bentuk Candi, Meru, Gedong, dan Padmasana. Semua itu digunakan sebagai lambang alam semesta yang dijiwai oleh Tuhan.
Seiring dengan kemajuan perdaban umat manusia, Lingga dipandang sebagai simbol alam semesta sekaligus tempat bersemayamnya Tuhan Yang Maha Esa. Bagian atas Lingga disebut Sivabhaga atau simbol alam atas, bagian tengah disebut Visnubhaga yang berbentuk segi delapan atau merupakan simbol alam tengah, dan bagian bawah berbentuk sedi empat disebut dengan Brahmabhaga atau simbol alam bawah. Keseluruhan bagian Lingga tersebut adalah lambang Purusa dan alasnya berbentuk segi empat disebut Yoni sebagai lambang Predana. Perkembangan selanjutnya adalah muncul bentuk Candi, Meru, Gedong, dan Padmasana. Semua itu digunakan sebagai lambang alam semesta yang dijiwai oleh Tuhan.
Bentuk-Bentuk Tempat Suci
Tempat suci umat Hindu terdiri atas berbagai macam bentuk. Bentuk-bentuk tersebut ada yang bersifat alami atau buatan. Namun, semua itu mengandung unsur-unsur alam. Pada bentuk tempat suci yang bersifat buatan terpatri unsur seni dari manusia yang dibuat dengan tetap memperhatikan serta menggunakan unsur-unsur alam. Berntuk-bentuk tempat suci umat Hindu yang digunakan untuk memuja kebesaran Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), antara lain sebagai berikut :
a. Gunung
Gunung merupakan bagian dari alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Sampai saat ini, umat Hindu masih memiliki pandangan dan keyakinan bahwa gunung adalah tempat atau linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Istha Dewata dan Roh Leluhur yang telah suci. Umat Hindu di India memandang bahwa gunung Maha Meru adalah simbol alam semesta sehingga puncaknya disimbolkan sebagai tempat bersemayamnya Tuhan beserta manifestasi-Nya. Apabila di India, gunung Maha Meru diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewa, di Jwa gunung Semeru dipercaya oleh umat Hindu Jawa sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan di Bali gunung Agung yang dipandang sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Bagi umat Hindu, gunung adalah simbol alam semesta, tempat puncaknya melambangkan alam atas (swah). Bagian badannya adalah alam tengah (bwah), dan pangkalnya adalah alam bawah (bhur). Disanalah, Bhatara Siva bersemayam. Kitanb Kakawin Dharma Sunya menyebutkan sebagai berikut :
“Bhatara
Siva = Suwung.
Sipat ipun ikang kasar a wujud donya, kanggep wangun ndi, yen karngkes dados meru ndi Himalaya, yen karingkes malih dados meru kadi ring tanah Bali, yen karingkes malih dados tiyang.
Terjemahannya :
Bhatara Siva = Kosong
Sifat kasarnya berbentuk dunia. Dianggap berbangun gunung. Jika diringkas lagi menjadi Meru (Gunung Himalaya), kalau diringkas lagi menjadi Meru seperti di Bali, makin diringkas lagi menjadi manusia.
Uraian diatas adalah penggambaran tentang hakikat Bhatara Siva atau Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya yang kasar. Sedangkan wujud beliau yang lebih halus dijelaskan sebagai berikut :
“Bhatara Siva = Suwung
Sipat ipun ikang halus, inggih punika alusing donia, yen karingkes dados alusing ndi meru, yen karingkes dados alusing meru, yen karingkes malih dados alusing manusya.”
Terjemahannya :
Bhatara Siva = Hampa
Sifat halusnya ialah halusnya alam. Kalau diringkas menjadi halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi sangat halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi halusnya manusia.
Berdasarkan uraian dan penjelasan dari Kakawin Dharma Sunya di atas, dinyatakan pada zaman dahulu gunung diyakini sebagai sthana dan isthana Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Barang kali pandangan ini jugalah yang melatar belakangi mengapa tempat-tempat suci umat Hindu di Bali umumnya dibangun dekat dengan gunung atau menghadap gunung.
Sipat ipun ikang kasar a wujud donya, kanggep wangun ndi, yen karngkes dados meru ndi Himalaya, yen karingkes malih dados meru kadi ring tanah Bali, yen karingkes malih dados tiyang.
Terjemahannya :
Bhatara Siva = Kosong
Sifat kasarnya berbentuk dunia. Dianggap berbangun gunung. Jika diringkas lagi menjadi Meru (Gunung Himalaya), kalau diringkas lagi menjadi Meru seperti di Bali, makin diringkas lagi menjadi manusia.
Uraian diatas adalah penggambaran tentang hakikat Bhatara Siva atau Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya yang kasar. Sedangkan wujud beliau yang lebih halus dijelaskan sebagai berikut :
“Bhatara Siva = Suwung
Sipat ipun ikang halus, inggih punika alusing donia, yen karingkes dados alusing ndi meru, yen karingkes dados alusing meru, yen karingkes malih dados alusing manusya.”
Terjemahannya :
Bhatara Siva = Hampa
Sifat halusnya ialah halusnya alam. Kalau diringkas menjadi halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi sangat halusnya Meru, kalau diringkas lagi menjadi halusnya manusia.
Berdasarkan uraian dan penjelasan dari Kakawin Dharma Sunya di atas, dinyatakan pada zaman dahulu gunung diyakini sebagai sthana dan isthana Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Barang kali pandangan ini jugalah yang melatar belakangi mengapa tempat-tempat suci umat Hindu di Bali umumnya dibangun dekat dengan gunung atau menghadap gunung.
b. Lingga
Lingga adalah lambang yang digunakan oleh umat Hindu untuk
memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siva. Lingga adalah lambang Siva.
Umat Hindu memiliki banyak sarana dengan berbagai macam bentuk yang digunakan
untuk memuja kebesaran Tuhan. Kitab Bhagavadgita menyebutkan sebagai berikut :
“ye
yatha mam prapadyante tam’s tathaiva bhajamy aham mama vartmanuvartante
manusyah partha sarvasah.
(Bhagavadgita, IV.11)
(Bhagavadgita, IV.11)
Terjemahan :
Jalan mana pun ditempuh manusia kea rah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh-Parta.
Demikian kitab suci menyebutkan, umat Hindu mendapatkan kebebasan dalam melaksanakan pemujaan kehadapan-Nya. Lingga adalah simbol gunung yang dikenal dengan istilah Linggacala atau lingga yang tetap tidak bergerak. Lingga dan gunung menurut keyakinan umat Hindu digunakan sebagai lambang alam semesta sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Pura Goa Gajah di daerah Gianyar, Bali, dapat dijumpai Lingga yang berjajar tiga diatas sebuah Yoni, tempatnya di ceruk goa sebelah timur. Lingga tersebut merupakan Lingga yang paling unik dan hanya dijumpai di Goa Gajah. Lingga tersebut diberi nama Tri Lingga. Berdasarkan bahan yang digunakan untuk membuatnya, Lingga dapat dibedakan sebagai berikut:
• Lingga phala (Lingga yang terbuat dari batu).
• Kanaka lingga (Lingga yang terbuat dari emas).
• Spatha lingga (Lingga yang terbuat dari permata).
• Gomaya lingga (Lingga yang terbuat dari tahi sapid an susu), terdapat di India.
• Lingga cala (Lingga sebagai gunung).
• Lingga (dewa-dewi) adalah Lingga yang terbuat dari banten, terdapat di Bali.
Berdasarkan bentuknya Lingga dapat dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut :
Ø Bagian puncak Lingga yang berbentuk bulat disebut Sivabhaga Lingga merupakan simbol dari sthana atau linggih dari Bhatara Siva.
Ø Bagian tengah Lingga yang berbentuk segi delapan disebut Visnubhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Visnu.
Ø Bagian bawah Lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Brahma.
Ø Dasar Lingga yang berbentuk empat dan pada salah satu sisinya terdapat sebuah saluran menyerupai mulut adalah tempat air dialirkan seperti pancuran. Dasar Lingga ini disebut dengan Yoni.
Dari uraian
diatas dijelaskan bahwa Sivabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga sebagai bagian
dari Lingga yang melambangkan Purusa. Dasar Lingga yang disebut Yoni
melambangkan Pradana. Pertemuan antara Purusa dan Pradana disebut juga sebagai
pertemuan antara Akasa dan Prthiwi. Inilah yang mengakibatkan terjadinya
kesuburan. Kesuburan yang dianugrahkan oleh Tuhan merupakan sumber dari
kemakmuran umat manusia (umat Hindu).
c. Candi
Candi merupakan salah satu karya manusia yang menurut pandangan umat Hindu adalah simbol alam semesta. Candi merupakan salah satu hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai seni dan religi yang tinggi. Pemujaan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa ketika kebudayaannya belum maju menggunakan cara yang sangat sederhana. Cara yang dimaksud seperti menggunakan gunung sebagai lambang alam semesta tempat bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan majunya peradaban manusia, kemudian gunung disimbolkan dengan candi. Gunung dipakai sebagai tempat suci oleh umat Hindu untuk memuja Tuhan dan candi merupakan bentuk tiruan (replica) dari gunung (Gunung Maha Meru). Dilihat dari bentuknya, candi melambangkan alam semesta dengan ketiga bagiannya. Atap candi melambangkan alam atas (swah loka), badan candi melambangkan alam tengah (bwah loka) dan kaki candi melambangkan alam bawah (bhur loka).
Pada bagian lain, ada kepercayaan bahwa seorang penguasa atau raja merupakan penjelmaan atau reinkarnasi dari salah satu dewa. Dengan demikian, jika ia meninggal dunia dan dilaksanakan upacara penyucian terhadap rohnya, atma dari raja tersebut dipandang akan manunggal dengan dewa yang berinkarnasi. Dalam upaya melakukan pemujaan kepada roh yang telah dipandang suci itu dibuatlah arca perwujudan dengan mengambil bentuk menyerupai dewa yang berinkarnasi. Guna menempatkan arca perwujudan itu maka dibuatkan bangunan. Kitab Negara kertagama, Pararaton, dan prasasti-prasati yang terdapat di Indonesia menyebutkan bentuk bangunan seperti diatas dengan nama Dharma atau Sang Hyang Sudharma. Bentuk bangunan ini dalam perkembangan selanjutnya lebih populer disebut dengan nama candi. Pada zaman raja-raja Hindu di Indonesia, upaya dan usaha untuk membangun candi tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, antara lain, Candi Badut, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Panataran, Candi Perwara, Candi Bajang Ratu, dan lainnya. Di Bali terdapat Candi Gunung Kawi. Candi-candi tersebut difungsikan sebagai tempat untuk memuja roh yang telah disucikan.
d. Meru
Candi sebagai tempat suci untuk memuliakan Tuhan dengan
prabhawanya mengalami perkembangan dan perubahan menjadi Meru. Sampai saat ini,
perkembangan bentuk bangunan itu masih dapat kita lihat di Bali. Meru memiliki
atap bertingkat-tingkat dari tingkat satu, tiga, lima, tujuh, Sembilan,
sebelas. Meru masih tetap mencerminkan pembagian Tri Loka sebagaimana yang
terdapat pada bentuk candi. Meru merupakan simbol atau lambang andhabhuana atau
alam semesta. Tingkatan atapnya melambangkan lapisan alam besar dan alam kecil
(makrokosmos dan mikrokosmos). Meru adalah lambang alam semesta sebagai tempat
bersemayam Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.
Meru adalah lambang gunung Maha Meru. Gunung merupakan lambang alam semesta sebagai linggih atau sthana Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya secara objektif. Uraian tentang Meru sebagai lambang gunung juga dijelaskan dalam Lontar Andhabhuana Lontar Tantu Pagelaran, Kakawin Dharma Sunya, dan Lontar Usana Bali. Tingkatan-tingakat atap Meru merupakan simbol dari penggabungan Dasaksara. Dasaksara adalah simbol berupa huruf sebagai jiwa seluruh bagian dari alam semesta ini (hurip bhuana) disebutkan ada sepuluh huruf suci sebagai hurip bhuana yang diletakkan I seluruh penjuru alam semesta ini dan dua di anatara huruf suci itu ditempatkan pada arah tengah. Adapun kesepuluh huruf-huruf suci tersebut antara lain : 1. Sa bertempat di arah timur, 2. Ba bertempat di arah selatan, 3. Ta bertempat di arah barat, 4. A bertempat di arah utara, 5. I bertempat di arah tengah, 6. Na bertempat di arah tenggara, 7. Ma bertempat diarah barat daya, 8. Si bertempat diarah barat laut, 9. Wa bertempat diaraah timur laut, 10 Ya bertempat di arah tengah. Penggabungan dari sepuluh huruf suci tersebut menghasilkan satu huruf suci yaitu, OM (Omkara). Dengan demikian, tingkatan-tingkatan pada atap Meru apabila dihubungkan dengan keberadaan huruf-huruf suci (lambang Ekadasa Dewata) terdapatlah bangunan meru yaitu sebagai berikut :
Meru adalah lambang gunung Maha Meru. Gunung merupakan lambang alam semesta sebagai linggih atau sthana Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya secara objektif. Uraian tentang Meru sebagai lambang gunung juga dijelaskan dalam Lontar Andhabhuana Lontar Tantu Pagelaran, Kakawin Dharma Sunya, dan Lontar Usana Bali. Tingkatan-tingakat atap Meru merupakan simbol dari penggabungan Dasaksara. Dasaksara adalah simbol berupa huruf sebagai jiwa seluruh bagian dari alam semesta ini (hurip bhuana) disebutkan ada sepuluh huruf suci sebagai hurip bhuana yang diletakkan I seluruh penjuru alam semesta ini dan dua di anatara huruf suci itu ditempatkan pada arah tengah. Adapun kesepuluh huruf-huruf suci tersebut antara lain : 1. Sa bertempat di arah timur, 2. Ba bertempat di arah selatan, 3. Ta bertempat di arah barat, 4. A bertempat di arah utara, 5. I bertempat di arah tengah, 6. Na bertempat di arah tenggara, 7. Ma bertempat diarah barat daya, 8. Si bertempat diarah barat laut, 9. Wa bertempat diaraah timur laut, 10 Ya bertempat di arah tengah. Penggabungan dari sepuluh huruf suci tersebut menghasilkan satu huruf suci yaitu, OM (Omkara). Dengan demikian, tingkatan-tingkatan pada atap Meru apabila dihubungkan dengan keberadaan huruf-huruf suci (lambang Ekadasa Dewata) terdapatlah bangunan meru yaitu sebagai berikut :
§ Meru beratap tingkat 9 merupakan lambang 8 huruf yang menempati 8 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara pada arah tengah menjadi 9 huruf suci sebagai lambang Dewata Nawa Sanga.
§ Meru beratap tingkat 7 merupakan lambang 4 huruf yang menempati 4 penjuru alam semesta ditambah tiga huruf yang menempati arah tengah yaitu, I, Om, Ya, menjadi tujuh huruf suci sebagai lambang Sapta Dewata atau Sapta Rsi.
§ Meru beratap tingkat 5 merupakan lambang dari 4 huruf menempati 4 penjuru alam semesta ditambah satu huruf Omkara yang menempati arah tengah menjadi 5 huruf suci sebagai lambang Panca Dewata.
§ Meru beratap tingkat 3 merupakan lambang dari 3 huruf yang menempati arah tengah yaitu I, Om, Ya, yang merupakan lambang dari Tri Purusa, yaitu Siva, Parama Siva, dan Sada Siva.
§ Meru beratap tingkat 2 merupakan lambang 2 huruf yang menempati arah tengah yaitu I dan Ya yang merupakan lambang dari Purusa dan Pradana.
§ Meru beratap tingkat 1 adalah lambang dari huruf Om yang merupakan lambang dari Sang Hyang Widhi Wasa yang Tunggal.
§ Meru beratap tingkat 11 merupakan lambang 11 huruf suci, yaitu, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dan Om yang merupakan lambang dari Eka Dasa Dewata.
Meru merupakan lambang ibu dan bapak. Istilah ibu dan bapak berdasarkan Lontar Andhabhuana dimaksudkan bahwa kata ibu mengandung makna Ibu Pertiwi. Artinya, unsur pradhana tattwa dan kata bapak mengandung makna Aji Akasa yaitu unsur purusa tattwa. Pertemuan antara Purusa dengan Pradhana menyebabkan munculnya kekuatan maha besar yang menyebabkan terciptanya alam semestra ini beserta isinya. Hal inilah yang dijadikan sebagai landasan pembangunan Meru yang difungsikan sebagai tempat untuk melaksanakan pemujaan roh suci leluhur yang bersemayam dilingkungan komplek Pura Besakih. Berdasarkan bentuknya, bangunan Meru yang dipergunakan untuk melaksanakan pemujaan kehadapan para dewa dengan roh suci leluhur sangat sulit dibedakan. Lontar Hastakosala membedakan bangunan Meru berdasarkan ukuran sikut yang dipakai untuk membangunnya, sedangkan Lontar Dewa Tattwa membedakannya berdasarkan pedagingan yang diisi atau disimpan pada bangunan Meru dan tempat suci atau pelinggih lainnya.
e. Padmasana
Padmasana berasal
dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai. Asana berarti tempat
duduk. Dengan demikian padmasana adalah tempat duduk dari bunga teratai. Dalam
pandangan umat Hindu, padmasana diartikan sebagai simbolis dari alam semesta
sebagai istananya Sang Hyang Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk bangunan
yang menjulang tinggi. Penemuan sejarah bidang agama menyebutkan bahwa para Dewa
Hindu dilukiskan sebagai arca yang duduk diatas bungai teratai. Patung-patung
dewa yang digambarkan duduk diatas bunga teratai banyak kita jumpai pada masa
pemerintahan raja-raja Kediri, Singasari, Majapahit serta raja-raja Hindu di
Bali. Bunga teratai memiliki helai daun berjumlah delapan delapan dan dapat
dihubungkan dengan Asta Iswarya yaitu para dewa yang menguasai delapan penjuru
arah dari alam semesta ini. Bunga teratai juga memiliki sifat dapat hidup pada
tiga lapisan alam, seperti akarnya hidup didalam lumpur, daunnya hidup di arid
an bunganya di udara. Ini dapat dihubungkan dengan Tri Bhuana yaitu bhur,
bhwah, swah. Bunga teratai juga disebut dengan nama “Pangkaja” yang artinya
lahir dari lumpur. Beberapa kitab Purana menceritakan bahwa para dewa muncul
dari padmasana. Padmasana itu adalah lambang dari gunung Maha Meru yang juga
sebagai simbol alam semesta tempat bersthananya Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam
kenyataannya, bentuk bangunan padmasana seperti yang sering kita lihat di Bali
(khususnya) adalah sebuah bangunan yang menjulang tinggi berbentuk Bedawang
Nala yang dililit oleh dua ekor naga (Naga Besuki dan Naga Anantha Boga). Pada
bagian tengah-belakang terdapat lukisan burung Garuda, di atasnya terdapat
burung angsa, dan pada bagian samping kiri dan kanan dari singgasana terdapat
lukisan Naga Taksaka. Dari seluruh bentuk bangunan itu, kita tidak dapat
melihat lukisan padma. Untuk mengetahui semuanya itu, ada baiknya kita
memperhatikan puja yang digunakan oleh pendeta (Siva-Buddha) pada saat mensthanakan
(ngelinggihang) Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalam Lontar
Widhi Sastra menyebutkan tentang jenis-jenis pedagingan tempat suci, seperti
Padmasana, Meru, Gedong, serta bangunan suci lainnya. Dalam jenis-jenis
pedagingan inilah, kita jumpai bentuk pedagingan berupa padma. Pedagingan
padmasana selengkapnya adalah banten suci, peras, dan lain-lainnya merupakan
benda berbentuk logam dari Panca Datu, sebagai akar pesimpenan adalah uang
kepeng. Logam diwujudkan sebagai kuwali yang melukiskan catur lokaphala, yaitu
lukisan segi empat atau singsana sebagai lambang istana Tuhan Yang Maha Esa.
Pada bagian belakang-tengah bangunan padmasana dihiasi dengan lukisan burung
Garuda. Burung garuda adalah lambang dari perjuangan untuk mendapatkan
kebebasan dengan mencari air kehidupan atau tirtha amertha. Pada bagian
belakang padmasana, diatas burung garuda dilukiskan burung angsa yang sedang
mengembangkan kedua sayapnya. Lontar indik tetandingan menjelaskan bahwa
lukisan angsa adalah simbol dari Ongkara. Kedua sayapnya yang sedang mengembang
melukiskan Ardha Chandra, yaitu bulan sabit. Badannya yang bulat melukiskan
Windu, sedangkan leher dan kepalanya yang menjulur keatas melambangkan Nada.
Angsa adalah jenis burung yang dalam tradisi Hindu digunakan sebagai lambang
untuk melukiskan Ongkara, yaitu aksara suci Hindu. Padmasana dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
Padmasana Berdasarkan Tempatnya. Dalam Lontar Wariga Catur Winasasari disebutkan berdasarkan tempatnya, bangunan padmasana di klasifikasikan menjadi 9 macam, antara lain sebagaiberikut:
Padmasana Berdasarkan Tempatnya. Dalam Lontar Wariga Catur Winasasari disebutkan berdasarkan tempatnya, bangunan padmasana di klasifikasikan menjadi 9 macam, antara lain sebagaiberikut:
·
Padma
Kencana adalah padmasana yang terletak disebelah timur dan menghadap kearah
barat.
·
Padmasana
adalah padmasana yang terletak disebelah selatan dan menghadap ke arah utara.
·
Padmasari
adalah padmasana yang terletak disebelah barat dan menghadap kea rah timur.
·
Padmalingga
adalah padmasana yang terletak disebelah utara dan menghadap kearah selatan.
·
Padma
Asta Sodana adalah padmasana yang terletak disebelah tenggara dan menghadap
kearah barat laut.
·
Padma
Noja adalah padmasana yang terletak disebelah barat daya dan menghadap kearah
timur laut.
·
Padma
Karo adalah padmasana yang terletak disebelah barat laut dan menghadap kearah
tenggara.
·
Padma
Saji adalah padmasana yang terletak di sebelah timur laut dan menghadap kearah
barat daya.
·
Padma
Kurung adalah padmasana yang terletak ditengah-tengah menghadap kearah pintu
keluar (Lawangan).
Kesembilan padmasana ini merupakan perwujudan yang konkrit dari ajaran
agama Hindu yang meyakini bahwa Sang Hyang Widhi Wasa berada di mana-mana
(wyapi-wyapakanirwikara).
2.6.2. Hari Suci Agama Hindu
1. Hari
Raya Nyepi
Hari
Raya Nyepi adalah cukup penting, malah
satu-satunya hari raya Hindu yang pertama kali mendapat pengakuan hukum dari
Pemerintah Negara Republik Indonesia; berdasarkan KEPRES. No. 3, tanggal 9
Januari 1983, Hari Raya Nyepi menjadi libur nasional.
Dalam
perhitungannya Hari Raya Nyepi jatuh tiap tahun sekali sebagai Hari Raya Tahun
Baru Isaka yang bertepatan jatuhnya pada Tilem Sasih Kesanga. Dengan demikian
sasih Kesanga adalah akhir tahun Isaka, sedangkan tilem adalah akhir sasih.
Jadi tileming sasih kesanga adalah akhir-akhir tahun Isaka. Secara pilosopis
menurut filsafat Samkya, sanga (9) adalah angka tertinggi, terbesar, atau
terakhir sebab semua angka-angka selanjutnya merupakan angka pengulangan saja
dari angka-angka yang lebih kecil dari 9 (Sembilan).
Disamping
itu menurut Wariga, Sasih Kesanga adalah puncaksasih Bhuta, sesuai pula dengan
pergantian musim di Indonesia dimana sasih kesanga adalah akhir-akhir musim
hujan yang segera akan berganti dengan musim cerah di sasih Kedasa yang
tergolong sasih Dewa.
Secara
methologis menurut lontar Sunari Gama pada Tileming sasih Kesanga adalah
pesucian para Dewa dengan mengambil tempat beryoga di tengah-tengah samudra
menghadap pada sumbernya yaitu Sang Hyang Acintya (Tuhan Yang Maha Esa) memohon
Amertha Kamandalu. Untuk itu kepada umat diajarkan agar menjalankan “Pakerti
Gama” yaitu mensucikan hari tersebut dengan melakukan upacara serta upakara
Yajna sebagai usaha mendukung para Dewa menciptakan keselamatan dan kelestarian
alam semesta. Adapun rangkaian hari Raya Nyepi yaitu Makiis atau Melasti,
Pecaruan dan Pengerupukan, Nyepi, dan Ngebak Geni. Berikut akan dijelaskan
mengenai rangkaian hari Raya tersebut.
a. Makiis
atau Melasti
Dua hari sebelum
Tilem yaitu panglong ping 13 sasih Kesanga dilaksanakan upacara Melis yang
disebut juga Mekiis atau Melasti. Upacara ini dilakukan dengan mengarak
Pralingga-pralingga yang dipergunakan sebagai sarana selaku batu lompatan dalam
memuja Tuhan ke laut atau ke sumber-sumber mata air yang dianggap bernilai
kesucian. Tujuannya adalah antara lain untuk memohon amertha pada Sang Hyang
Nawa Ruci (Tuhan dalam kedudukan-Nya sebagai penguasa laut dan pemilik
amertha). Setelah selesai melakukan melasti kemudian dilanjutkan dengan upacara
“Nyejer” yaitu memohon agar para Dewa berkenan tetap berada di tempat yang
telah dikhususkan untuk itu selama kegiatan hari raya.
b. Pecaruan
dan Pengerupukan
Pada Tilem sasih
Kesanga itu dilaksanakan upacara Bhuta
Yajna atau Pecarauan dengan tujuan membersihkan alam serta menetralisir
kekuatan-kekuatan negative (Bhuta) demi keharmonisan dan kestabilan semesta
ditahun yang akan datang. Pecaruan ini dilaksanakan pada tengah hari; menurut
lontar Siwa Gama sedapat mungkin dilaksanakan pada waktu matahari mencapai
titik kulminasi.
Senja harinya
dilanjutkan dengan upacara “Ngrupuk” yaitu menabur-naburkan nasi Tawur (nasi
yang dipakai caru tadi) sambil mengobar-ngobarkan api atau obor dan ada yang
memukul kentogan serta yang lainnya sehingga hiruk pikuk kedengarannya.
Maksudnya adalah agar para Bhuta Kala menjadi geger lalu keluar semuanya
menerima nasi caru yang ditaburkan itu selanjutnya dengan kekuatang Sang Hyang
Agni mereka pergi dari lingkungan kita kembali keasalnya dengan demikian
diharapkan lingkungan hidup manusia menjadi bersih dari gangguan Bhuta Kala.
c. Nyepi
Menurut Sunari
Gama, nyepi dimulai jam 12 malam setelah Ngerupuk sampai jam 12 malam besoknya,
jadi berimpit pada akhir dan awal tahun Isaka. Selama itu dipenuhi dengan yoga
atau brata praline untuk mengakhiri segala karma terdahulu agar pada
tahun-tahun berikutnya kita benar-benar mulai dengan sebagai berikut yang
dikenal dengan nama Catur Brata Penyepian:
1. Amati
Gni yaitu tidak menyalakan api. Mengandung arti memadamkan api indrya untuk
menghentikan kehidupan empiris ini dalam waktu sementara.
2. Amati
Karya yaitu tidak bekerja seperti biasanya.
3. Amati
Lelungan (Lelungayan) yaitu tidak bepergian.
4. Amati
Lelanguan yaitu tidak mengadakan hiburan, tidak bergembira ria, tidak rebut dan
sebagainya.
Demikian
cara-cara sekalanya atau cara karma Sanyasa-nya, dari segi niskalanya atau
secara Yoga Sanyasa-nya dilaksanakan dengan menahan diri menjernihkan Trikaya
dan bagi yang telah mampu melaksanakan “Mona Brata) yaitu tidak makan, tidak
minum dan tidak berbicara selama 24 jam. Dalam prinsipnya adalah
menjalankanyang namanya Catur
Paramartha, yaitu:
1. Tapa
yaitu mengekang indriya tidak memberikan apa yang menjadi kesenangannya.
2. Brata
yaitu berpantang dan setia pada janji.
3. Yoga
yaitu melakukan sadhana untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
4. Samadhi
yaitu menunggalkan diri dengan Tuhan.
d. Ngembak
Geni
Setelah lewat
jam 12 malam termasuk sudah pergantian hari, sasih Kasanga berakhir tahun Isaka
berakhirpula, maka tibalah Tahun Baru Isaka di sasih Kadasa yang menurut wariga
adalah sasih yang terbaik, ini dirayakan dengan istilah Ngembak Gni maksudnya
menghidupkan dengan mengobarkan api kehidupan
yang baru penuh gairah dan suci.
Demikianlah pelaksanaan
Hari Raya Nyepi yang terdiri dari empat fase sebagai Hari Raya Tahun Baru
Isaka.
2. Hari Raya Saraswati
Hari
Raya Saraswati jatuh pada hari Sabtu Umanis (legi) wuku Watugunung,dengan
demikian hari raya ini akan datang setiap 210 hari sekali. Istilah Saraswati
berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata saras dan wati. Saras berarti
sesuatu yang mengalir atau berarti pula percakapan atau kata-kata. Wati yang
berarti memiliki. Dewi Saraswati berarti dewanya kata-kata, pelajaran dan
kebijaksanaan. Hal ini sangat sesuai dengan bunyi lintar di Bali yang
menyatakan bahwa Dewi Saraswati menyelinap dalam lidah, Dewaning “Pangawruh”.
Di
dalam sastra-sastra, kedudukan Dewi Saraswati ada bermacam-macam antara lain:
1. Dalam
Rg Veda, beliau adalah Dewa Sungai, seperti terlihat dalam mantra Sapta Gangga.
Para Resi mohon rahmatnya, agar dianugrahi keselamata, kemasyuran dan kekayaan.
2. Dalam
kitab Brahmana beliau disamakan dengan Vac, yaitu Dewanya kata-kata.
3. Dalam
Maha Bharata beliau adalah dewa kebijaksanaan.
4. Dalam
ajaran Tri Murti, Dewi Saraswati dikenal sebagai saktinya Dewa Brahma.
Dengan pemujaan pada
hari raya Saraswati menunjukkan bahwa orang sangat memuliakan ilmu pengetahuan.
Akan besarnya manfaat ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia tidak perlu
diragukan lagi. Dengan ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia ke dalam
kedudukan yang tinggi diantara makhluk-makhluk lainnya.Kempuan untuk berpikir
adalah anugrah Hyang Widhi yang amat mulia bagi umat manusia. Dengan pikirannya
umat manusia dapat mengarahkan hidupnya lebih mudah. Oleh karena melalui
pikiran itulah manusia menciptakan alat-alat untuk kemudahan hidupnya. Dengan
alat-alat itu pula dapat dipergunakan untuk mengubah benda sekelilingnya
sehingga berguna dan dapat menunjang hidupnya. Hasil berpikir itu merupakan
pengetahuan yang dapat disumbangkan untuk kesejahteraan umat manusia dan
diwariskan kepada generasi berikutnya. Selain memiliki kemampuan berpikir yang
mengantarkan dirinya ke alam ilmu pengetahuan. Manusia juga memiliki rasa. Rasa manusia melahirkan keindahan,
diantaranya adalah seni sastra. Karya sastra selalu memberi inspirasi kelembutan,
keagungan dan idealism pada manusia. Maka itu manusia adalah makhluk bersastra
dan mengagungkan sastra itu.
Umat Hindu
mengkhususkan hari raya untuk mengenang dan mengagungkan anugrah yang mulia itu
pada Hari Raya Saraswati. Walaupun telah disinggung akan besarnya manfaat ilmu
pengetahuan itu, manusia juga harus menyadari bahwa untuk menyangganya
diperlukan sikap mental dan moral yang tinggi. Sia-sialah pengetahuan itu bila
berada pada orang yang buruk budi. Hari Raya Saraswati mengandung makna agar
orang menjunjung dan mengormati kesucian ilmu pengetahuan itu. Ini berarti ia
tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kesucian itu
sendiri.
Rangakian pelaksanaan
hari raya Saraswati hendaknya sudah dimulai pada pagi hari, sebelum tengah
hari. Dilarang unuk merayakannya pada sore hari. Demikian menurut lontar Tutur
Saraswati. Semua pustaka-pustaka keagamaan dan buku-buku pengetahuan lainnya
diatur dalam tempat yang layak untuk itu. Dapat ditempatkan disatu meja yang
telah dibersihkan. Setelah semua pustaka itu ditempatkan pada tempatnya,
upakaranya ditempatkan dihadapannya. Jenis upakara dalam perayaan hari raya
Saraswati sebagaimana disebut dalam lintar Sundari Gama:
Saniscara
umanis watugunung, pujawali bhatara Saraswati Widhi Widhananya: suci, peras,
daksina, palinggih, kembang payas, kembang cane, kembang biasa, banten sesayut,
Saraswati prangkatan putih kuning saha rakatan sah wangi-wangi saha duluranya.
(Sundarigama, 14).
Terjemahannya:
Saniscara umanis watugunung adalah puja
wali Bhatari Saraswati. Saji-sajiannya adalah:
-
Suci, peras, daksina palinggih, kembang
payas, kembang cane, kembang biasa, sesayut saraswati, prangkatan putih kuning
dan raka-raka, tidak ketinggalan harum-haruman dan sebagainya.
Sekurang-kurangnya
upacara Saraswati itu terdiri dari Banten Saraswati, sodaan putih kuning dan
canang selengkapnya. Tirtha yang digunakan hanyalah tirtha Saraswati, yang
diperoleh dengan jalan mohon kehadapah Hyang Surya. Pelaksanaanya didahului
dengan menghaturkan pasucian, ngayabang aturan, guna mohon kehadapan Hyang
Saraswati agar mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, kemajuan melalui ilmu
pengetahuan dan ajaran agama. Kemudian muspa dan dilanjutkan dengan matirtha.
Upakara Saraswati ini agar ditetapkan “nyejer” selama satu hari. Pada malam
harinya diharapakan supaya orang bersemadi, mengheningkan cipta atau mebaca
kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana Bharata Yudha dan lain-lainnya. Keesokan
harinya dilakukan dengan upacara “Banyu Pinaruh”. Pada hari ini umat diharapkan
melakukan upacara sebagai berikut:
Sinta redite paing
enjang eningnya, banu pinaruh asuci laksana ring beji kalaning prabhata,
jajamas dening kumkuman, haturakna mwah laba ring bhatara ring sanggar, sega
mwah jajamu sarwa mrik ring manusa swang-swang. (Sundarigama, 15)
Terjemahannya:
Pada hari redite paing,
pagi-pagi disebut banyu pinaruh, saat membersihkan diri kepermandian, kemudian
menyucikan diri dengan memercikan air kumkuman dilanjutkan dengan menghaturkan
labaan kepada bhatara di Sanggar: Sega prajnan kuning dan jajamu serba harum
untuk tiap-tiap orang. Setelah selesai muspa, matirtha, nunas jamu dan laban
Saraswati/nasi prajnan barulah upacara Saraswati diakhiri (lebar).
Perayaan Saraswati
disamping dilaksanakan di rumah masing-masing, akan lebih baik bilamana juga
dirayakan di sekolah-sekolah atau tempat-tempat lain secara bersama-sama. Oleh
karena di sekolah itulah tempatnya kita memperoleh ilmu pengetahuan.
2.6.3. Orang Suci Agama Hindu
Orang Suci adalah manusia yang memiliki mata batin dan
dapat memancarkan kewibawaan rohani, serta mempunyai kepekaan untuk menerina
getaran-getaran gaib, dalam penampilannya dapat mewujudkan ketenangan dan penuh
welas asih, yang di sertai kemurnian lahir dan batin di dalam mengamalkan
ajaran agama, tidak terpengaruh oleh gelombang hidup suka dan duka. Didalam kitab suci, Para orang suci
hindu disebut Sadhu, Sants, Mahant, atau Bhagavata. Mereka yang mengajarkan
pengetahuan keinsafan rohani kepada masyarakat luas juga disebut guru atau
Acharya. Mereka tidak saja mengajarkan secara teori tetapi juga melalui teladan
pribadinya. Merekalah yang menjaga suksesi guru – murid yang tak terputuskan
dari tuhan dan para acharya terdahulu sampai generrasi yang sekarang. Para
santh, sadhu dan acharya adalah penjaga kelanjutan pewarisan dharma. Kaki padma
mereka adalah tempat berlindung bagi semua jiva yang berkeinginan untuk
mencapai kesempurnaan. Hindu masih tetap ada dan hidup segar hingga hari ini
adalah karena mereka. Merekalah kepala dari seluruh masyarakat yang membangun
tubuh hindu. Setiap umat hindu adalah murid yang dengan kerendahan hati memohon
ajaran dari mereka. Ajaran mereka tiada lain adalah realisasi Veda itu sendiri
dan merupakan kesempurnaan pengalaman rohani mereka di dalam jalan Veda.
Syarat – Syarat Menjadi Orang Suci
Sebelum seseorang menjadi pemangku
(orang suci) hal yang paling utama dilakukan yaitu Upacara pawintenan Gede.
Kata pawintenan itu sendiri berasal dari kata winten, yang dapat diartikan
dengan kata inten (berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten
mengandung arti melaksanakan suatu upacara untuk mendapatkan sinar (cahaya)
terang dari Sang Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui, serta
menghayati ajaran pustaka suci Veda tanpa aral melintang. Magna dari pawintenan
disini tidak lain yaitu memohon Waranugraha Sanghyang Widhi Wasa dalam
prabawanya sebagai Sanghyang Guru yang memberi tuntunan, sebagai sanghyang Gana
memberikan perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan sebagai
Sang Hyang Aji Saraswati sebagai pemberi anugrah ilmu pengetahuan suci (Veda).
Dan disamping pelaksanaan upacara pawintenan dalam
ajaran Veda untuk menjadi Orang suci, ada empat syarat yang mesti dimiliki
yaitu:
1. Widya adalah
memiliki ilmu pengetahuan dan kerohanian (Apara Widya dan Para Widya)
2. Satya adalah
memiliki sifat jujur dan memegang teguh kebenaran
3. Tapa adalah mampu mengendalikan diri
dari segala godaan nafsu
4. Sruta adalah
mampu menerima getaran-getaran suci (wahyu)
Kedudukan Orang Suci
Melalui proses sakral yang di
sebut “Dwijati” artinya lahir kedua kali. Lahir yang
pertama melalui rahim seorang ibu dan yang kedua melalui proses sakralisasi dan
proses pembelajara melalui seorang guru kerohanian yang mengajarkan Weda. Ada
juga di sebut “Mediksa” artinya upacara penyucian
seorang walaka menjadi pandita atau sulinggih. Orang-orang suci memiliki
kedudukan khusus dan terhormat dalam masyarakat hindu. Masyarakat hindu
menyebutnya “Sulinggih”. “Su”artinya
mulia atau utama dan “Ling” artinya kedudukan. Jadi,
sulinggih artinya kedudukan utama atau mulia. Di dalam Kitab Weda Sruti dan Smerti di sebutkan
beberapa gelar (kedudukan) untuk orang suci yang sesuai dengan keahliannya
yaitu:
1.
Pendeta
adalah gelar orang suci dari brahmana wangsa, beliau telah di dwijati atau di
diksa.
2.
Dang
Hyang adalah gelar orang suci dari brahmana wangsa yang berperan menjadi Maha
Guru sperti Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Dwijendra.
3.
Rsi
atau Bhagawadgita adalah gelar orang suci dari wangsa ksatria yang menjadi
penyebar dan penentu ajaran agama.
4.
Mpu
adalah gelar orang suci dari waisya wangsa yang bertugas memimpin upacara bhuta
yadnya.
5.
Pinandita atau pemangku adalah orang suci yang ruang
lingkupnya terbatas dan penyuciannya melalui upacara “ekajati”. Beliau
mempunyai wewenang untuk muput upacara dalam skala kecil. Pemangku adalah
orang yang disucikan melalui proses Ekajati/mawinten.
6.
Wasi adalah sejenis pemangku dari umat hindu di jawa.
Dan beliau inilah yang memiliki tugas-tugas sesuai dengan
fungsinya, yaitu:
Bertugas memimpin pelaksanaan Upacara atau Upakara keagamaan dan memberi petunjuk cara-cara pembuatan banten, Memberi Upanisad, Memberi Dewasa (niwakang dewasa).
Bertugas memimpin pelaksanaan Upacara atau Upakara keagamaan dan memberi petunjuk cara-cara pembuatan banten, Memberi Upanisad, Memberi Dewasa (niwakang dewasa).
2.6.7 Lembaga Yang Mengayomi Agama Hindu
1.
Dapartemen Agama
Terbentuknya Departemen Agama tanggal 3 Januari 1946
adalah wujud pengakuan bahwa warga Negara Indonesia adalah masyarakat religius
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, juga sebagai wujud pelaksanaan Pancasila sila
pertama dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 29 Walaupun Agama Hindu
pada awal berdirinya Departemen Agama belum diakui, setidaktidaknya dapat
diakui sebagai landasan hukum perjuangan umat agar Agama Hindu diakui secara
resmi oleh Negara Indonesia. Hal ini terbukti bahwa khususnya di Bali terbentuk
Dinas Agama Otonoi Daerah Bali pada tanggal 1 Januari 1955. Dan dengan Surat
Keputusan Menteri Agama Nomor : 100 tahun 1962 bahwa, Dinas Agama yang
awalnya hanya mengurusi urusan Agama Hindu berubah menjadi Kantor AgamaDaerah
Tingkat I Bali yang mempunyai bagian Hindu, Islam, Kristen Protestan dan
Katolik sebagai bawahan Departemen Agama Pusat. Selanjutnya dengan Keputusan
Menteri Agama : 114 tahun 1969 yang dilaksanakan berdasarkan Intruksi
Menteri Agama Nomor : 8 tahun 1972 terbentuk Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha menyebabkan kedudukan Agama Hindu di
Indonesia sejajar dengan agama-agama lain. Puncak dari pengakuan tersebut
adalah dengan diterbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 3 tahun
1983 tertanggal 13 Januari 1983 menetapkan Hari Raya Nyepi ( Tahun Baru
Saka ) sebagai hari libur nasional.
2.
Parisadha Hindu Dharma Bali
Berdirinya Parisadha dan perannya sebagai lembaga keumatan
Parisadha
sebagai lembaga tertinggi Umat Hundu berdiri ketika diadakan Pesamuan Agung
Hindu Bali di Fakultas Sastra Universitas Udayana pada tanggal 21 s/d 22
Pebruari 1959.Pesamuan tersebut dihadiri oleh Pejabat, Staf Pemerintah,
Pemimpin organisasi keagamaan Hindu di Bali, Yayasan bernafaskan Agama Hindu.
Pesamuan tersebut memutuskan untuk mendirikan suatu majelis Agama Hindu yang
diberi nama Parisadha Dharma Hindu Bali, dengan susunan pengurus
terdiri dari 11 orang Sulinggih dan 22 orang paruman Walaka, yang
dituangkan dalam bentuk piagam yang diberi nama : Piagam Parisadha dengan
akta pendirian nomor : 50 tanggal 40 September 1959.Setelah
berdiri, Parisadha mengadakan Pesamuan Agung I di SMP Dwijendra tanggal 3
Oktober 1959 dan atas dukungan Yayasan Dwijendra berdirilah Sekolah PGHA
Bali pada tanggal 4 Juli 1959.
Selanjutnya
diadakan Pesamuan Agung II pada tanggal 19 Maret 1960, menyusul Pesamuan
Agung III, Pesamuan Agung IV tahun 1960 dan Pesamuan Agung V pada tanggal
21 Oktober 1961, dilanjutkan dengan pertemuan di Pura Gunung Lebah , Campuan
Ubud pada tanggal 17-23 Nopember 19961 yang melahirkan keputusan penting yang
disebut Piagam Tjampuan Ubud yang isinya tentang Dharma Agama dan
Dharma Negara.Tahun 1964 baru bisa diselenggarakan pertemuan tingkat
nasiona yang disebut Mahasabha I, PDHB berubah menjadi Parisadha Hindu Dharma.
Selanjutnya secara berkala diadakan Mahasabha, sampai pada Mahasabha V,
Parisadha Hindu Dharma berubah nama menjadi Parisadha Hindu Dharma Indonesia
(PHDI). Selanjutnya setuap 5 tahun sekali diadakan Mahasabha dan sampai pada
tahun 2006 PHDI telah mengadakan Mahasabha IX, dengan mengalami perubahan
struktur kepengurusan. Peranan lembaga Hindu sebagai lembaga keumatan yaitu
mengatur, memupuk, dan mengembangkan kehidupan umat Hindu di Bali.
3. Desa
Adat
Sesuai dengan ketentuan
Perda Tingkat I di Bali Nomor 06 tahun 1986 ditetapkan tentang kependudukan,
fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan drama pergaulan hidup masyarakat Umat Hindu
secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan tiga yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri. Jumlah desa adat yang ada di Kabupaten
Gianyar sampai dengan tahun 2004 sebanyak 266 desa adat yang tersebar di 69
desa/ kelurahan yang semuanya mempunyai awig-awig. Awig-awig dimaksud ada yang
sudah tertuang dalam bentuk awig-awig tertulis dan belum tertulis. Khusus di
kabupaten sebagian besar sudah mempunyai awig-awig tertulis. Desa adat sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai fungsi:
1.
Membantu pemerintah dalam kelancaran dan
pelaksanaan pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan,
kebudayaan dan kemasyarakatan.
2.
Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam
desa adatnya
3.
Memberikan kedudukan hukum menurut adat
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan
dan keagamaan.
4.
Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat
Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan
nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali khususnya berdasarkan paras-paros selunglung
sebayantaka.
5.
Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan
desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat
Pembinaan desa adat
dilaksanakan dengan pola melaksanakan ceramah-ceramah pembinaan desa
adat, penyuluhan, penyuratan awig-awig desa adat pada setiap tahunnya, yang
pada dasarnya bertujuan untuk mencapai tri sukerta yaitu: Sukerta
tata agama, sukerta tata pawongan dan sukerta tata palemahan yang pada
hakikatnya semua bertujuan untuk dapat melestarikan tri hita karana,
yaitu Parhyangan, palemahan dan Pawongan. Sedangkan adat istiadat
dilandasi oleh Catur dresta yaitu purwadresta, lokadresta, desadresta
dan sastradesta. Di dalam tri hita karana yaitu tiga penyebab
kesejahteraan masyarakat, terlihat adanya tiga wujud hubungan manusia dengan
penciptanya yaitu Hyang Widhi Wasa. Palemahan mewujudkan hubungan manusia
dengan alam lingkungan tempat tinggalnya dan pawongan mewujudkan hubungan
manusia dengan manusia sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa. Untuk lebih
jelasnya, dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1.
Hubungan Manusia dengan Hyang Widhi Wasa
Manusia
menyadari, bahwa diciptakan oleh Hyang Widhi Wasa karena itu manusia mempunyai
hutang hidup kepada Hyang Widhi Wasa yang disebut Dewa Rna. Dewa Rna inilah
landasan dari pada Dewa Yadnya yaitu suatu persembahan dan kebaktian kepada
Hyang Widhi Wasa, sebagai rasa terima kasih atas anugrah Beliau memberi hidup
dan kehidupan kepada manusia. Jadi hubungan disini berupa suweca dari
Hyang Widhi Wasa kepada manusia dan bakti dari manusia kepada Hyang Widhi Wasa.
Di dalam desa adat, hubungan ini dihubungkan dalam pemujaan terhadap Kayangan
Tiga yaitu Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dan berbagai aktivitas
keagamaan lainnya.
2.
Hubungan Manusia dengan Palemahan
Palemahan
berarti suatu wilayah atau teritorial pemukiman krama desa adat. Hyang Widhi
Wasa sebelum manusia di ciptakan, terlebih dahulu Hyang Widhi Wasa menciptakan
manusia beserta isi alam lainnya seperti tumbuh-tumbuhan, binatang dan
lain-lain. Alam ciptaan Hyang Widhi Wasa adalah tempat manusia untuk
menjalankan aktivitasnya sehari-hari untuk menempuh kehidupannya. Alam
memberikan material yang diperlukan oleh manusia dan juga memberikan rasa
estetik untuk kesegaran jiwa manusia. Hubungan manusia dengan wilayah tempat
tinggalnya adalah merupakan hubungan yang harmonis yang dapat memunculkan rasa
sejahtera lahir dan batin. Maka dari itulah manusia berkewajiban memelihara
wilayahnya (bhuana agung)
3.
Hubungan Manusia dengan Manusia
Manusia
merupakan ciptaan Hyang Widhi Wasa yang paling tinggi derajatnya, karena
manusia diberikan tri prama yaitu tenaga, bicara dan pikiran. Maka
itulah manusia diberikan oleh Hyang Widhi Wasa untuk mengatur dan memanfaatkan
alam dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan jagadhita atau kesejahteraan jagad
secara bersama-sama. Hakikat manusia adalah satu seperti yang di sebutkan dalam
chandoyogya upanisad dengan istilah tattwamasi yang artinya itu adalah engkau.
Atas landasan tattwamasi itulah manusia mewujudkan kehidupan yang selaras,
serasi dan seimbang, karena keharmonisasi hubungan itu akan melahirkan perasaan
aman, tentram dan sejahtera. Dari tattwamasi itu juga muncul rasa suka duka, selulung
sebayantaka dan sebagainya.
4. Majelis Desa Pekraman
Majelis Desa Pakraman atau
singkat dengan MDP adalah merupakan organisasi yang bersifat religius. Majelis
Desa Pakraman terdiri dari:
1.
Majelis Utama, berkedudukan di ibukota
Propinsi Bali yang selanjutnya disingkat dengan MDP Bali.
2.
Majelis Madya, berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota selanjutnya disingkat MDP/Kota
3.
Majelis Desa, berkedudukan di ibukota
kecamatan selanjutnya disingkat MDP Kecamatan.
Adapun
isi dari MDP adalah terwujudnya persatuan desa pakraman yang harmoni dan
terjaganya adat dan sosial budaya Bali yang dilandasi Agama Hindu.Disamping
visi dan misi MDP tersebut diatas, MDP mempunyai tugas dan wewenang sebagai
berikut; Tugas MDP adalah
1.
Mewujudkan kesukertan tata Agama Hindu
2.
Mewujudkan persatuan dan kesatuan desa
pakraman
3.
Menciptakan kesukertan jagad Bali
4.
Mengayomi adat istiadat Bali
5.
Meningkatkan kualitas karma desa pakraman
6.
Melestarikan Lingkungan dan tanah Bali
Disamping
visi dan misi MDP tersebut diatas, MDP mempunyai tugas dan wewenang sebagai
berikut; Tugas MDP :
1.
Mengayomi adat istiadat
2.
Memberikan saran usul dan pendapat ke
berbagai pihak perorangan, kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah
adat
3.
Melaksanakan keputusan-keputusan paruman
dengan aturan yang di tetapkan
4.
Membantu penyuratan awig-awig
5.
Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara
menyeluruh.
MDP mempunyai wewenang :
1.
Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut
masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman.
2.
Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang
tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa
3.
Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di
kecamatan, kabupaten/ kota di propinsi Bali
a Sakehe
Teruna Teruni
Lembaga
sosial ini terdapat di semua banjar di Kabupaten Gianyar. Lembaga ini merupakan
organisasi pemuda-pemudi di bidang agama, adat istiadat dan bidang pembangunan.
b Subak
Subak
adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosial agraris religius, secara
historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi tata air di tingkat usaha
tani. Subak sebagai satu lembaga adat yang bergerak sebagai organisasi petani
sawah dan tegalan melandasi diri pada adat dan agama. Walaupun pemerintah
menetapkan aturan tata air dengan peraturan pemerintah No. 11 tahun 1982
tentang pengairan yang dilengkapi dengan PP No. 23 tahun 1982 tentang irigasi
dan peraturan daerah No. 2 tahun 1972 tentang irigasi Bali, Subak tetap
berperan di jaringan irigasi secara otonom di atur sendiri oleh subak yang
bersangkutan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agama Hindu yang kita
kenal sekarang,lahir dan berkembang pertama kali di india, yaitu di daerah
Punjab (di lembah sungai sindhu) dan dalam perkembanganya sampai kedaerah
lembah sungai gangga dan yamuna. Nama Hindu berasal dari kata Sindhu yaitu nama
sungai di India barat daya datanglah bangsa Arya dari daratan Eropa timur Laut
ke India. Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra
suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang
mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan
dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda
merupakan yang paling tua dan lengkap Dalam mempelajari Weda,
Kata Veda bearasal dari
urat kata kerja ‘Vid’ yang artinya mengetahui dan veda berarti
pengetahuan,dalam pengertian simantik veda berarti pengetahuan suci,kebenaran
sejati,pengetahuan tentang ritual,kebijaksanaan yang tertinggi,pengetahuan
spiritual sejati tentang kebenaran abadi,ajaran suci atau kitab suci sumber ajaran
agama hindu. Di dalam veda terdapat Kitab Sruti dan smerti sruti yaitu berasal dari akar kata “srut” yang artinya
mendengar. Kitab Sruti menunjukkan bahwa isi kitab itu merupakan wahyu Tuhan
Yang Maha Esa yang diturunkan dan diterima secara langsung oleh para Maharsi
melalui pendengarannya terdiri dari reg veda,samaveda,yajur veda,atharwa veda.
kitab sruti terdiri dari reg veda,sama veda,yajur veda,atharva veda, kitab
smerti yaitu veda yang disusun kembali berdasarkan ingatan yang terdiri dari
vedangga dan uvawedangga.Dalam teologi Hindu kita jumpai demikian banyak jumlah
atau nama dewa-dewa . Kitab suci Rgveda seperti pula halnya Atharvaveda
menyebutkan jumblah dewa-dewa itu sebanyak 33 dewa.
Cara mempelajari veda
yang praktis di jaman sekarang ini salah
satunya Melalui
film Mahabharata dan Ramayana ,karena jika menonton film maka penonton jauh
lebih mudah memahami alur-alur cerita sehingga Mudah diingat, dan sering
menjadi renungan dalam menjalani kehidupan maka akan banyak Penikmat kisah
(penonton) Mahabharata dan kisah Ramayana, dapat memetik nilai-nilai kehidupan
dalam bentuk pemahaman baru yang dapat menumbuhkan kesadaran untuk menerapkan
nilai-nilai ajaran Veda, Menurut keterangan kitab Mahabharata, Ramayana.
Pulau bali terkenal dengan julukan
pulau seribu pura terbukti karena adanya banyak pura di bali , tempat suci di
bali menjadi daya Tarik pariwisata karena keindahanya , Hari suci yang penting
di bali terdapat hari Raya Nyepi dan Saraswati begitu juga Orang suci di bali
yang tidak sembarang orang bias menjadi orang suci ada ketentun dan persyaratanya.
Lembaga yang mengayomi Agama Hindu diantaranya Dapartemen Agama, PHDI, Desa
Adta dan Majelis Desa Pakraman.
DAFTAR PUSTAKA
Ajegbali.org/node/43.
2015,10,22. 09.30,
Drs.
Anak Agung Gde Oka Netra
http://bimashindusultra.blogspot.co.id/2013/10/weda-kitab-suci-agama-hindu.html.2015,10,22.
09.35. I Nengah Sumendra, S.Ag., M.Fil.H
http://www.geocities.ws/bukukmhdi/bpk21.html. 2015,10,25,
18.30. Made Surya Putra
https://id.wikipedia.org/wiki/Purana.
2015,10,25. 19.00. Wikipedia
http://sekalaniskala32.blogspot.co.id/2014/02/sumber-ajaran-agama-hindu-melalui-lontar.html.
2015,10,26. 09.00. Meghaa46
https://kompiangyaniari.wordpress.com/2015/01/13/hari-suci-agama-hindu/
.2015.12.29. 19.00. Kompyangyaniari
Maswinara, I Wayan.
1999. Dewa-Dewa Hindu, Surabaya: Paramita
Pudja, G. 1983. RG Weda
Sruti Mandala VI, Dapartemen Agama RI
Sadia W, dkk. 1983. RG
Weda Sruti Mandala VI, Dapartemen Agama RI
Supriadi, Ida Bagus. 2004. Buku
Pelajaran Agama Hindu. Surabaya : Paramita
Titib, I Made. 1994.
Ketuhanan Dalam Weda, Denpasar : PT Pustaka Manikgeni
Tim Penatar. 1992. Bahan Penataran Guru-Guru Agama Hindu
Tingkat SMTP dan SMTA. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali
Yasa, I G Badjera
dan Goda, I Gst G. 1983. Acara Agama II. Proyek
Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama R.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar